A. LATAR
BELAKANG
Berangkat dari keresahan bersama
masyarakat Wonosobo terutama masyarakat di Desa Plobangan akan kehilangan makna
eksistensi dn esensi makna yang pernah ada di daerah tersebut. Sejarah yang
pernah ada di bagian dari wilayah kabupaten Wonsobo tersebut. Kaena sejarah
lisan yang berkembang dan dari berbagai penelitian yang pernah ada yang
menyatakan bahwa di desa Plobangan pernah ada seorang tokoh yang namanya entah
kebetulan dan mirip sama dengan sebuah nama kota ini sekarang dan juga sama
dengan salah satu dusun di desa Plobangan yaitu Wonosobo/Wanasaba/Wanuseba,
nama tokoh tersebut adalah Ki Ageng Wonosobo atau lebih akrab dikenal dari
cerita masyarakat dan juru kunci maqomnya yang berada di tempat pemakaman umum
desa Plobangan di dusun Wonosobo dengan nama Ki Wanu, yang sampai sekarang
kepastian masa zaman Ki Ageng Wonsobo belum jelas kapan.
Berkembangnya zaman yang begitu
cepat dari generasi ke generasi berikutnya. Globalisasi, ilmu pengetahuan,
budaya, dan IPTEK yang semakin menggila saat ini, banyak generasi muda yang dipaksa
larut dengan zamanya dan sedikit mengesampingkan pengetahuan, nilai dan makna
dari mana ia berasal dalam kata lain lupa dengan sejarahnya. Kekayaan sejarah
yang tersembunyi di daerah ini harus menjadi spirit warga tidak hanya warga desa
Plobangan tetapi wonosobo pada umumnya. Spirit dibalik sejarah lisan Ki Wanu
terlintas sebuah nilai pembelajaran tentang hidup antara lain tentang
kegigihan, keberanian, kerja keras, kesederhanaan, pengabdian, ketauhidan, dan
amanah.
Sebagaimana Soekarno pernah
mengatakan “jangan sekali-kali
meningkalkan jas merah” dimana punya
makna pesan yang tersembunyi bahwa kita generasi penurus di ultimatum untuk
paham sejarah, karena beliau melanjutkan dengan kalimatnya “Bangsa yang besar adalah bangsa yang paham akan sejarah masa lalu
nya”. Terlepas dari benar dan salah
pesan beliau tapi saya menjadi bagian orang yang mengamini pesan beliau.
Sederhananya bahwa dari sejarah kita akan belajar banyak hal yang saat tidak
kita dapatkan secara langsung. Senada dengan maqolah “ al mukholafadhotu ‘ala qodimi sholih wal akhdu bi jadidil ashlah”
(melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih
baik). Satu konsep yang sangat demokratis dan humanis bagaimana kita
dituntun untuk menghargai dan melestarikan sebuah karya dan nilai dari masa
lalu yang baik dan memfilter budaya dan nilai baru yang lebih baik sesuai
dengan konteks zamanya yang kemuian di kawinkan dengan tradisi lama yang baik.
Hemat saya akan lahirlah sebuah kebudayaan dan tradisi baru yang lebih baik.
B.
TEORI
Sejarah selalu menjadi hal yang
menarik untuk dibahas dan diperbincangkan. Setiap orang dengan kapasitas dan
pengetahuanya meiliki pemaknaan yang berbeda-beda pada sebuah makna ”sejarah”.
Berikut berbagai pendapat tentang pengertian sejarah dari sebagian sejarawan
yang mewarnai dunia sejarah, antara lain ;
1. Herodotus : Sejarah tidak berkembang ke
arah depan dengan tujuan pasti melainkan bergerak seperti garis lingkaran yang
tinggi rendahnya diakibatkan oleh keadaan manusia.
2. Ibnu Khaldun : Dalam bukunya
yang berjudul “Mukadimah”, Ibnu Khldun mendefisikan sejarah sebagai catatan
tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang
perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat.
3. W.J.S. Poerwadarminta : Dalam bukunya
berjudul ” Kamus Umum Bahasa Indonesia”. Poerwadarminta mengutarakan 3
pengertian. Yaitu:
Sejarah adalah kesustraan lama,
silsilah, dan asal-usul.
Sejarah adalah kejadian dan
perisiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
Sejarah adalah ilmu pengetahuan
tentang masa lampau.
4. Moh. Ali : Dalam bukunya “Pengantar Ilmu
Sejarah Indonesia”, Moh. ali menegaskan bahwa kata sejarah mengandung arti
sebagai berikut:
Sejumlah perubahan-perubahan,
kejadian-kejadian, dan peristiwa dalam kenyataan disekitar kita. Cerita tentang
perubahan, kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas. Ilmu yang bertugas
menyelidiki perubahan, kejadian, peristiwa yang merupakan realitas.
5. Taufik Abdullah : Menurutnya
sejarah adalah kejadian masa lampau dan cerita tentang kejadian itu.
6. Sartono Kartodirdjo : Gambaran
perkembangan dan kehidupan kebudayaan manusia.
7. Kuntowijoyo : Sejarah
menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik, dan empiris. Bersifat
diakronis karena berhubungan dengan waktu. Sejarah bersifat ideografis karena
sejarah menggambarkan, menceritakan sesuatu. Bersifat unik karena berisi hasil
penelitian tentang hal unik. Selain itu juga bersifat empiris artinya sejarah
bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh.
Dari berbagai pengertian itu dapat
di simpulkan kalau sejarah itu ilmu yang mempelajari tentang peristiwa masa
lampau yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang berakibat terjadinya
perubahan pada peradaban umat manusia. Dalam hal ini kita melihat berbagai hal
yang tidak bias kita nafikan dalam penulisan sejarah ini, antara lain ;
kebenaran realitas empiris dari objek-objek kajian sejarah, semisal ada bukti
yang bias menjadi sumber kebenaran suatu sejarah, yang bukan hanya rabaan
penulis semata. Baik peninggalan yang bersifat fisik maupun non fisik dalam
artian sejarah lisan (Oral History) atau sejarah tutur.
Sejarah lisan biasanya menceritakan
suatu peristiwa sejarah dari sumber pertama atau dari saksi mata peristiwa
sejarah. Tradisi lisan memiliki jangkauan yang lebih luas. Tradisi merupakan
kisah yang diperoleh bukan dari orang yang menyaksikan peristiwa itu sendiri,
melainkan mendengar dari orang lain atau dari satu, dua, tiga atau lebih generasi
sebelumnya. Seringkali tradisi lisan dianggap sebagai kenangan dari kenangan.
Tradisi lisan biasanya mencakup semua aspek kehidupan berbagai aspek kehidupan
masa lampau, seperti legenda, epik, peribahasa, teka-teki, dan ungkapan.
Tradisi lisan cenderung menjadi bagian dari kegiatan para antropolog atau ahli
folklor.
Sejarah lisan mempunyai kelebihan sebagai
berikut:
Pengumpulan data dalam sejarah
lisan dilakukan dengan komunikasi dua arah sehingga memungkinkan sejarawan
dapat menanyakan langsung bagian yang kurang jelas kepada narasumber.
Penulisan sejarah menjadi lebih
demokratis karena memungkinkan sejarawan untuk menggali informasi dari semua
golongan masyarakat.
Melengkapi kekurangan data atau
informasi yang belum termuat dalam dokumen. Penelitian sejarah lisan yang
dipadukan dengan sumber tertulis dianggap dapat melengkapi kekurangan
sumber-sumber sejarah selama ini.
Di samping memiliki kelebihan, sejarah lisan
juga mempunyai beberapa kekurangan atau kelemahan sebagai berikut:
Terbatasnya daya ingat seorang
pelaku atau saksi sejarah terhadap suatu peristiwa.
Subjektivitas dalam penulisan
sejarah sangat tinggi. Dalam hal ini perasaan keakuan dari seorang saksi dari
seorang pelaku sejarah yang cenderung memperbesar peranannya dan menutupi
kekurangannya sering muncul dalam proses wawancara. Selain itu, subjektivitas
juga terjadi karena sudut pandang dari masing-masing pelaku dan saksi sejarah
terhadap suatu peristiwa sering kali berbeda.
Dua hal yang tidak bias kita
tinggalkan dalamkonteks research sejarah kali ini yaitu sejrah lisan sebagai
salah satu sumber dan juga sejarah dalam bentuk tulisan dari berbagai sumber
buku yang terkait dengan konteks objek kajian yang akan kita bahas selanjutnya.
C.
OBJEK KAJIAN
Pemilihan topic kajian atau objek
kajian dalam research ini memang berangkat dari keresahan masyarakat desa
Plobangan dimana sejarah besar yang pernah ada di desa tersebut semakin
terkikis oleh tradisi baru dan globalisasi baru. Padahal banyak halyang perlu
masyarakat di kabupaten Wonosobo ini pahami kembali dan pelajari kembali dri
realitas masa lalu yang pernah ada yang mengantarkan Wonosobo seperti sekarang
ini.
Tidak menafikan konteks dalam
penulisan ilmiah sebuah sejarah, berbagai persyaratan topik penelitian harus
memenuhi beberapa persyaratan;
a) Topik
itu harus menarik (interesting topic), dalam arti menarik sebagai obyek
penelitian. Dalam hal ini termasuk adanya keunikan (uniqueness topic).
b) Substansi
masalah dalam topik harus memiliki arti penting (significant topic),
baik bagi lmu pengetahuan maupun bagi kegunaan tertentu.
c) Masalah
yang tercakup dalam topik memungkinkan untuk diteliti (manageable topic).
Sejarah
Ki Ageng Wonsobo, menjadi pilihan topic, Ki Ageng Wonsobo menjadi satu objek
perbincangan yang menarik di kalangan orang wonosobo sebagian meskipun bentuk
tulisan dan riset yang khusus hal tersebut belum pernah ada. Sempat mendengar
beberapa sejarawan local berupaya untuk meneliti terkait topic tersebut namun
beberapa kendala yang entah kenapa semuanya patah di tengah-tengah risetnya.
Pemilihan
objek kajian tersebut banyak memiliki arti penting baik bagi masa depan Desa
Plobangan maupun bagi masyarakat umum lainya. Yang semuanya akan kita lihat dan
buktikan bersama seiring dengan berjalanya waktu. Lukisan arti penting terebut
generasi muda dan masyarakat akan bias mencari tahu dengan lebih mudah sumber
dari sejarah Ki Ageng Wonosobo, secara tidak langgsung nilai-nilai yang
diajarkan baik secara langsung oleh tokoh tersebut mapun secara tidak langsung
sedikit banyak akan masuk dalam pengetahuan, hatidan harapan kita sampai pada
laku agar tidak terjebak dalam jarring modernisasi negative.
Sumber
riset objek kajian Ki Ageng Wonsobo menjadi tantangan tersendiri bagi siapapun
yang mengambil objek kajian tersebut. Sumber informasi data yang masih sangat
langka terkait objek tersebut. Kerja keras dan tidak mudah putus asa menjadi
sahabat riset. Namun perlu diingat bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia
ini, spirit tersebut menjadi motivasi dikala kelesuan mencari dan mengolah
data.
D. METODOLOGI
Metodologi sejarah terdiri dari dua kata
yaitu metodologi dan sejarah. Metodologi itu sendiri berasal dari kata Yunani
“metodos”, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti
melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Pengertian
metodologi itu sendiri adalah ilmu atau kajian yang membahas tentang
kerangka-kerangka pemikiran (frameworks) tentang konsep-konsep, cara atau
prosedur, yang maksudnya adalah untuk menganalisis tentang prinsip-prinsip atau
prosedur yang akan menuntun, mengarahkan dalam penyelidikan dan penyusunan
suatu bidang ilmu (dalam bahasan ini adalah ilmu sejarah yaitu kenyataan
tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau, untuk disusun dijadikan sebuah
cerita sejarah).
Sejarah sendiri dalam bahasa Inggris disebut
“history”. Secara etimologis kata ini berasal dari bahasa Yunani “historia”
yang berarti ilmu, inkuiri (inquiry), wawancara (interview), interogasi dari
seorang saksi-mata. Menurut definisi yang paling umum, kata history kini
berarti “masa lampau umat manusia” jika dibandingkan dengan kata Jerman untuk
sejarah, yaitu Geschichte, yang berasal dari kata geschehen yang berarti
terjadi. Geschichte adalah sesuatu yang telah terjadi. Pengertian dari kata
sejarah seringkali kita temui dalam pengucapan yang sering kali digunakan
seperti “semua sejarah mengajarkan sesuatu”. Louis Gottschalk (1985:27)
Metodologi sejarah itu merupakan suatu
prosedur atau metode yang digunakan untuk tahu bagaimana mengetahui. Metodologi
sejarah atau science of methods juga berarti sebagai suatu ilmu yang
membicarakan tentang cara, yaitu cara untuk mengetahui bagaimana mengetahui
peristiwa yang terjadi dimasa lampau (sejarah). Misalnya seorang sejarawan yang
ingin mengetahui, katakanlah sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dia akan
menempuh secara sistematis prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik
untuk pengumpulan bahan sejarah sehingga dia dapat menjaring informasi yang dia
dapatkan selengkap mungkin namun hanya sampai itu saja tidaklah cukup bagi
seorang sejarawan karena seorang sejarawan harus dilengkapi juga dengan
pengetahuan metodologis ataupun teoritis bahkan filsafat. Artinya bagaimana
sejarawan itu menggunakan “ilmu metode” itu pada tempat yang seharusnya
sehingga untuk mengetahui bagaimana mengetahui sejarah itu di perlukanlah suatu
ilmu yaitu Metodologi Sejarah. Helius Sjamsuddin (2007:15)
Dalam metodologi sejarah, seorang sejarawan
dituntut harus menguasai metode yang di gunakan untuk mengetahui peristiwa di
masa lampau, untuk mengetahui peristiwa di masa lampau itu maka di lakukanlah
penelitian berupa prosedur penyelidikan dengan menggunakan tehnik pengumpulan
data sejarah baik berupa arsip-arsip dan perpustakaan-perpustakaan (di dalam
atau di luar negeri) maupun dari wawancara dengan tokoh-tokoh yang masih hidup
sehubungan dengan peristiwa bersejarah. Mempelajari metodologi sejarah berarti
kita juga menguraikan metode penelitian sejarah, sumber sejarah dan penulisan
sejarah.
Sebelum melakukan penelitian sejarah
kita harus mengerti terlebih dahulu apa itu metode dalam penelitian sejarah.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya.
Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk
merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode
penelitian itu disebut metode sejarah. Metode sejarah digunakan sebagai metode
penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1
H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when
(kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana).
Pertanyaan pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi?
Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu?
Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Metode penelitian sejarah menurut Nugroho Notosusanto
meliputi empat langkah yaitu heuristik, verifikasi, interprestasi dan
historiografi. Sebelum masuk dalam penelitian sejarah, yang perlu di lakukan
oleh peneliti adalah menentukan topic dan merumuskan masalah. Metode penelitian
sejarah menurut Nogroho Notosusanto :
a)
Heuristik (Menemukan), Tahapan pertama
yaitu mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik yang akan
dibahas. Mengumpulkan sumber yang diperlukan dalam penulisan ini merupakan
pekerjaan pokok yang dapat dikatakan gampang-gampang susah, sehingga diperlukan
kesabaran dari penulis. Heuristic berasal dari bahasa Yunani Heuriskein artinya
sama dengan to find yang baerati tidak hanya menemukan, tetapi mencari dahulu.
Pada tahap ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan
sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat dilokasi penelitian,
temuan benda maupun sumber lisan. Notosusanto (1971:18).
Tahapan heuristic ini dengan menggunakan
metode pencarian data baik melalui wawancara tokoh sejarawan dan warga, yang
berangkat dari sejarah lisan penyataan umum yang kita dapatkan Ki Ageng
Wonosobo atau Ki Wanu warga setempat mengenalnya meyakini maqom atau pesarean
Ki Wanu berada di pemakan desa Plobangan yang terletak di dukuh Wanasaba,
sekarang sudah di bangun dan info dari desa juga juru kunci maqom banyak orang
asing yang berdatangan untuk ziarah kemaqom kramat tersebut, baik dari warga
biasa ataupun utusan dari kraton Yogyakarta. Ini menjadi pertanyyan menarik
untuk kita gali, siapa sebenarnya Ki Ageng Wonosobo tersebut?. Karena hemat
saya memahami bahwa maqom yang di ziarahi oleh keluarga kerato tentunya
mempunyai garis kekerabatan dengan keraton. Ini yang sepintas menjadikan sumber
awal data untuk diolah.
Terus berjalan dalam metode yang lain
yaitu kita adakan sarasehan sejarah khusus untuk menggali data sejarah Ki ageng
Wonosobo,pada tanggal 26 November 2013 dimana pemerintahan Desa Plobangan
dengan Kepala desa Bapak Ismail yang bekerja sama dengan Pengurus Cabang
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kabupaten Wonosobo. Berbagai data pun
banyak terungkap dan menjadi pemahaman yang baru bagi peserta sarasehan. Memang
pernah ada tokoh agama yang membuka daerah tersebut yang kemudian di beri nama
Wonosobo. Dengan system peradaban yang tergolong sudah maju, semisal pola
pertanian baik dengan dibangunya irigasi-irigasi untuk pengairan sawah-sawah,
proses penyebaran agama islam yang dilakukan Ki Ageng pun mendatangkan daerah
tersebut banyak dihuni oleh penduduk yang berdatangan untuk ngangsu[1]
ilmu agama islam pada Ki Ageng Wonosobo. Analisis dari nara sumber sejarawan dan
penggiat bahasa jawa di wonosobo bapak Suharno mengatakan prestasi-prestasi yang
diraih oleh pemerintahan desa dan sekolah di plobangan merupakan buah turunan
dari pendiri wilayah tersebut yang mengajarkan tentang kerja keras dan disiplin
pada santri-santrinya dulu. Maka Desa Plobangan menjadi salah satu desa yang
paling tertib membayar pajak pada pemerintah kabupatn Wonosobo saat ini dan
beberapa waktu yang lalu di tahun 2013 salah satu sekolah menengah pertama di
plobangan pun meraih sekolah dengan program penghijauan terbaik se nasional.
Semangat pertanian yang cukup besar di
desa Plobangan menjadikan sebagian besar penduduk Plobangan mencari nafkah
membanting tulang di bidang pertanian. Selaras dengan petuah yang disampaikan
dari juru kunci ki Wanu yang katanya merupakan pesan dari Ki Wanu sendiri “orang Wonosobo nek pengin sugih kudu dadi
wong tani[2]”.
Mitos didaerah tersebut yang cukup unik
juga menjadi pembahasan yang menarik di sarasehan kala itu, warga sekarang wilayah
Desa Plobangan tidak boleh menikah dengan warga Desa Manggis yang letaknya
bersebelahan dengan Desa Plobangan di kecamatan Selomerto. Mitosnya ketika ada
warga yang menikah dari desa Plobangan dengan desa manggis maka setelah menikah
aka nada bencana, salah satu dari mereka akan cepat mati atau jika tidak maka
aka nada yang menjadi gila. Terlepas dari benr dan salahnya mitos tersebut
sampai sekarang dari dua desa tersebut masih mempercayai hal itu.
Terus melakukan riset kajian buku-buku
dan dokumen-dokumen berkaitan dengan data-data baik primer maupun sekunder yang
diperlukan sebagai penguat testimony-testimony awal. Mulai dari dokumen khusus
dari kraton Jogjakarta yang ditulis oleh KRT Yudodipraja dengan judul bukunya
“Kerajaan Majapahit ; Sorosilah Rojo-Rojo”[3]
saya dapatkan sedikitnya terkait dengan silsilah Ki Ageng Wonosobo yang
merupakan salah satu dari 3 anak dari Raden Joko Bondan Kejawen yang merupakan
anak dari raja majapahit terakhir raden Alit/Haryo Ongkowijoyo yang kemudian
berjulukan Prabu Brawijaya ke-V yang merupakan generasi raja Majapahit ke VII
yang banyak disebutkan dalam buku-buku lain berkuasa pada tahun 1468 M – 1478 M.
Prabu Brawijaya V yang menikah dengan Putri Wandhan dan meiliki anak raden Joko
Bondan Kejawen yang berjulukan Haryo Lembu peteng atau Ki Ageng Tarup III yang
menikah dengan putrinya Haryo Lembu Peteng Kidang telangkas atau Ki Ageng tarup
II yaitu Dewi Nawangsih, setelah menikah kemudian punya anak 3 yaitu Raden Joko
Dukuh / Syeh Kabidullah / Ki Ageng Wonosobo, Raden Dhepok berjulukan Ki Ageng
Getas Pandhawa, dan Nyi Ageng Ngerang I.
Terkait dengan masa atau tepatnya tahun
berapa Ki Ageng Wonosobo mulai pndah babat alas atau membuka wilayah di
Wonosobo menjadi belum ada data yang menyatakan secara gamblang tepatnya. Dalam
beberapa sumber Raden Joko Dhukuh masuk agama Islam dan berguru pada Sunan
Mojogung yaitu Sunan Gunung Jati di Cirebon. Stelah dirasa sudah cukup maka
Sunan Gunung Jati mengutus menugaskan Raden Joko Dhukuh yang kemudian berganti
nama Islam menjadi Syeh Kabidullah untuk berdakwah dan membuka pemukiman di
dusun Wonosobo desa Plobangan sekarang. Analisis masa dimana Ki Ageng Wonosobo
pertama kali membuka daerah di pedukuhan Wonosobo di Plobangan kisaran abad
ke15 - abad 16.
b) Verifikasi (Kritik Sumber), Pada
tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa;
buku-buku yang relevan dengan pembahasan yang terkait, maupun hasil temuan
dilapangan tentang bukti-bukti dilapangan tentang pembahasan. Setelah bukti itu
atau data itu ditemukan maka dilakukan penyaringan atau penyeleksian dengan
mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan orisinalnya
terjamin. Tahapan kritik ini tentu saja memiliki tujuan tertentu dalam
pelaksanaannya. Salah satu tujuan yang dapat diperoleh dalam tahapan kritik ini
adalah otentitas (authenticity).
Lemahnya budaya penulisan zaman dulu
menjadikan bukti sejarah secara gamblang sangat sulit kita dapatkan. sejarah
lisan dan benda-benda peninggalan yang tersisalah yang menjadikan salah satu
otentifitas suatu realitas sejarah. Terlepas dari objektifitas dan
subjektifitas sumber dari pustaka baik buku dan dokumen-dokumen dalam riset
kali ini itulah sebagai upaya legalitas bahwa pernah ada sejarah di daerah
Plobangan. Keyakinan yang kuat inilah yang mengamini banyak orang dari berbagai
kalangan memastikan disanalah sejarah besar di wonosobo pernah mewarnai
kekayaan sejarah kita.
Menjadi kehati-hatian tersendiri ketika
melakukan sebuah riset sejarah satu sisi kita tidak berada dan melihat langsung
peristiwa dimasa lalu itu. sumber yang terkadang ontentitasnya masih
dipertanyakan ketikan tidak jeli meilih sumber dengan baik dan cermat. Oral
history (sejarah lisan) yang ada sekarang adalah sejarah lisan yang sudah
diwariskan dari beberapa generasi, penting untuk perhatian hal tersebut
tentunya juga bisa ditopang atau dipatahkan dengan riset yang lebih mendekati
titik kebenaran dengan berbagai pendekatan dan penerjemahan sumber-sumber yang
ada.
c) Interpretasi, Setelah melalui tahapan
kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta
sejarah yang diperoleh dari arsip, buku-buku yang relevan dengan pembahasan,
maupun hasil penelitian langsung dilapangan. Tahapan ini menuntut kehati-hatian
dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi yang subjektif terhadap
fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau
gambaran sejarah yang ilmiah.
Interpretasi terhadap fakta sejarah
diatas sekurangnya ada beberapa hal yang kemudian menjadi pengembangan dalam
historiografi tahap berikutnya, antar lain ;
1.
Masa-masa pengembangan agama islam di
Wonosobo
2.
Melacak historisitas Ki Ageng Wonosobo
3.
Makna
historisitas Ki Ageng Wonosobo
d) Historiografi, Historiografi atau
penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dari seluruh rangkaian dari metode
historis. Tahapan heuristik, kritik sumber,serta interpretasi, kemudian
dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah historiografi.
Tahapan historiografi sebagai bagian
dari i'tiqod untuk menjadikanya sebagai sebuah buku sejarah yang menguak lebih
banyak realitas sejarah Ki Ageng Wonosobo, sejarah yang pernah ada di desa
plobangan juga sisi makna religiusitas, kekayaan budaya dan kehidupan sosial masa
lampau. menjadi suatu yang membuat sejuk sebagaimana kondisi lingkungan di
wonosobo yang terkenal dengan kesejukanya, kesejukan sejarah ini mampu
menjadikan suasan gersang akan kekurang pahaman dan rabaan sejarah tersebut
yang selama ini menghinggapi setiap langkah otak dan hati kita.
F.
HASIL TEMUAN
Kekayaan sejarah
yang pernah ada di Kabupaten Wonosobo menjadikan nilai tersendiri bagi arti
penting wonosobo[4]
dalam konteks mewarnai kepustakaan yang ada dan yang terpenting menjadi spirit
bagi generasi Wonosobo sekarang jika dulu pernah ada sejarah besar di Wonosobo
kenapa sekarang kita tidak bisa membuat sejarah yang lebih besar lagi yang
punya arti baik untuk Wonosobo pada khususnya. Menurut Otto Sukatno (2004)
berpendapat bahwa Dieng berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni “Di”
yang artinya tempat yang tinggi atau pgunungan, dan “Hyang” yang artinya
“ruh leluhur” atau “dewa-dewa”. Dari sedikit pengertian diatas, menurut penulis
bhawa Dieng menjadi tempat yang diagungkan oeh masyarakat kala itu, Dieng
menjadi sebuah daerah yang mampu dijadikan pusat peradaban dengan adanya arti
yang terkandung pada kata Dieng itu sendiri, Hyang yang juga banyak orang
mengartikan “Kahyangan” atau surga tak heran jika sang penghulu Dieng hingga
para pelaku sejarahnya menyebut bahwa Dieng adalah surga yang itu menunjukan
bahwa “Hyang” adalah sebuah tempat bersemayamnya pada dewa-dewi atau
dengan istilah lain “Hyang” adalah tempat yang paling luhur yakni tempat
keberadaan Sang Pencipta Jagad Raya[5].
Dieng juga diartikan
dengan bahasa Kawi, yang diambil dari penggalan kata “Di” dengan kata
baku “Hadi” atau “Adi” yang mempunyai arti “cantik”, “indah” atau
“molek” yang mengandung pemaknaan “serba”, “paling” dan sifat-sifat superlatif
lainya[6].
Setidaknya tercatat dua nama dari
nama-nama Rakai Mataram Sanjaya yang sampai zaman modern ini masih terpatri di
wilayah Kabupaten Wonosobo. Pertama adalah Rakai Garung atau Śrī Mahārāja Rakai Garung, yang
diperkirakan memerintah antara tahun 828 sampai– 847 M. Yang kedua. Adalah
Rakai Watuhumalang, atau ada yang mengatakan Rakai Wungkal Humalang atau Śrī Mahārāja Rakai Watuhumalang, yang
dimungkinkan memerintah Mataram Sanjaya antara tahun 894 sampai 898 M. Dimana kedua nama itu
sampai sekarang terpatri menjadi nama kecamatan di wilayah Kabupaten Wonosobo[7].
Pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno
dinasti Sanjaya banyak disebutkan berada didaerah Dieng Wonosobo dan
sekitarnya. Menarik sekali untuk menelusuri tapak jejak torehan sejarah di
Wonosobo daerah pegunungan dengan kontur tanah yang naik-turun menjadikan
gambaran nyata historiografi kabupaten Wonosobo tidak berjalan rata namun naik
turun.
Itulah bagian dari sejarah di Wonosobo
yang banyak orang tahu, namun ketika kita turun dari sejarah di Dieng sampai
pada dusun Wonosobo, desa Plobangan kecamatan Selomerto, kabupaten Wonosobo
terasa begitu luar biasa disambut dengan panorama alam dan pertanian dipinggir
jalan raya yang begitu subur menghijau menandakan kesuburan tanahnya, dengan
hiasan tanaman padi di sawah yang semakin menguning menandakan bahwa daerah tersebut pernah
menorehkan historiografi seorang tokoh yang begitu berharga bagi perkembangan
agama islam dan kabupaten Wonosobo sekarang.
Denis Lombard dalam sebuah bukunya yang
sangat fenomenal "Nusa Jawa Silang Budaya "mengungkapkan "hutan
merupakan daerah hantu dan penyakit, tetapi disitulah terdapat padepokan di
lereng gunung yang terpencil berdiam seorang resi atau pertapa yang dapat
mendalami dan memahami tumbuh-tumbuhan dan benda-benda disekitarnya"[8].
Memberikan Inspirasi banyak seorang utusan atau orang yang punya kemampuan
lebih dibanding orang biasa, menyebar dan membuka daerah-daerah perkampungan
yang baru. Untuk sekedar menyepi atau membuat padepokan, tempat mengajar agama
dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan inilah yang mengantarkan salah
seorang tokoh yang konon sebagai orang yang membuka daerah Plobangan sekarang.
Tokoh tersebut yang kemudian dikenal
oleh warga sebagai Ki Wanu[9],
orang yang telah membuka "babat alas" bahasa orang Wonosobo-nya. Info
dari wawancara dengan juru kunci makam Ki Wanu yaitu bapak Hadi Susilo,terkait
asal usul darimana Ki Wanu dan bagaimana bisa sampai kedaerah tersebut masih
belum ada sumber yang menjelaskanya. Terlepas darimana dan siapa sebenarnya Ki
Wanu, tokoh yang banyak diyakini punya banyak kontribusi besar untuk daerah itu,
sehingga makamnya menjadi salah satu makam keramat yang banyak diziarahi oleh
orang baik dari dalam wonosobo maupun dari luar wonosobo. Banyak yang datang
dari Keraton Jogja menziarahi makam tersebut, apalagi ketika momen-momen bulan
tertentu dalam kalender bulan jawa, seperti bulan suro dalam kalender jawa
itulah bulan pertama, banyak dongengan tentang aura mistis di bulan sura dari
masyarakat di jawa.
Satu pendekatan mistis yang dilakukan
oleh juru kunci makam ketika menggelar seni budaya kuda lumping semalam suntuk,
dalam seni tersebut ada beberapa bagian dimana penari akan larut dalam tarianya
dengan iringan musik gamelan, ini menjadikan penari tersebut menjadi mendem
atau kesurupan, pernah ada seorang penari yang kesurupan dan mengaku kesurupan
arwah Mbah Wanu. pernyataan dari orang yang mendem dimana dia hanya sebagai
mediator untuk mendatangkan arwah Ki Wanu, mengungkapkan bahwa dialah orang
yang pertama kali membuka daerah tersebut, dengan di temanai oleh Mbah Koplem seorang
gamel atau perawat kuda. rumah tempat tinggal beliau masih menggunakan tempat
tinggal sederhana bahasa kita orang Wonosobo dikenal dengan nama gubuk. Tembok
dari bambu yang dianyam, atapnya terbuat dari daun-daun yang dibentuk
sedemikian rupa sebagai gentengnya. Tempat yang di diami tersebut berada di
sebelah timur makamnya sekarang.
Melihat mitos dalam masyarakat di
Plobangan menjadi hal yang menggelitik, dimana waktu itu Ki Wanu dititipi Gaman
atau senjata dari Adipati Kudus, gaman tersebut menurut cerita warga masih ada
sampai sekarang. Terkait dengan Adipati Kudus ini yang makamya sekarang berada
di desa Manggis sebelah desa Plobangan, kami mengalami kesulitan melacak konteks
kesejarahan beliau. Yang menarik dan mitos yang sekarang masih berlaku di dua
desa tersebut yaitu bahwa warga desa Plobangan dan desa Manggis tidak boleh
besanan[10],
inilah konon merupakan perjanjian antara Ki Wanu dan Adipati Kudus.
Permasalahan kenapa mereka saling melakukan perjanjian dan ini semacam menjadi
kutukan bagai warga kedua desa tersebut, belum dipahami alasanya, dugaan
sementara pernah terjadi perselisihan anatara kedua orang tersebut terkait
dengan wilayah bataswilayah daerah masing-masing desa tersebut. Mitos yang
hingga kini masih berlaku dimasyarakat kedua desa tersebut,menjadi hal yang
dipatuhi dan ditaati oleh warga desa pernah terjadi kasus warga desa Plobangan
dan desa Manggis besanan bencana yang dijelaskan diataspun terjadi.
Titik-titik mitos yang sedikit kita
sampaikan bukanlah menjadi titik tumpuan utama, yang terlepas dari baik
buruknya, namun itulah satu kekayaan adat-istiadat, tata nilai yang secara
tertulis tidak ada namun itu menjadi benar-benar masuk dalam hati masyarakat di
kedua desa tersebut.
Banyak nama-nama yang muncul dalam
pengetahuan dan pemahaman kita dalam konteks sejarah kali ini, sebut saja Ki
Wanu, Ki Ageng Wonosobo, Ki Gede Wanasaba. Tiga nama yang secara bahasa memiliki kesamaan dan
kemiripan, Ki Wanu mayarakat desa plobangan dan sekitar menyebutnya, Ki Ageng
Wonosobo banyak dalambeberapa sumber disebut-sebut sebagai anak dari Raden Joko
Bondan Kejawen yang merupakan salah satu anak dari Prabu Brawijaya V raja
Majapahit terakhir (1468 – 1478), telaah lebih lanjut akan kita bahas dibawah
ini. Ki Gede Wanasaba ini juga memiliki arti kata yang sama dalam bahasa jawa
ageng dan gede berarti besar, dalam khasanah bahasa jawa kita mengenal
sedikitnya empat tingkatan bahasa yaitu,ngoko, ngoko alus, krama, dan krama
inggil. Penggunaan bahasa jawa dalam tingkatanya bahasa krama dan krama inggil
digunakan ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang
dihormatinya, bahasa ngoko dan ngoko alus digunakan ketika berkomunikasi dengan
teman sebayanya. Kata Ageng lebih merujuk pada bahasa krama atau krama inggil
sedangkan kata gede lebih merujukpada tingkatan bahasa jawa ngoko atau ngoko
alus,secara sepintas memberikan gambaran nama tersebut merupakan nama dari 1
orang.
Kesepemahan kita perlu disatukan
bahwa pengetahuan kita dan juga pemahaman kita ketiga nama diatasmerujukpada
satu orang yang permasalahan penyebutan saja.
a. Masa-Masa Perkembangan Agama Islam di
Wonosobo
Napak
tilas historiografi Ki Ageng Wonosobo merujuk pada sumber-sumber kajian buku
yang ada banyak menyebutkan pemahaman yang hampir sama sebagai mana kita lihat
dari masa-masa kerajaan Majapahit akhir pada masa Prabu Brawijaya V memegang
tahta Majapahit selama 10 tahun. Tidak diduga sama sekali dia akan menjadi raja
Majapahit yang terakhir, karena setelah beliau kerajaan adidaya ini melemah dan
terjadi perebutan kekeuasaan kembali. Pada saat terjadi konflik yang memuncak
di pesisir utara jawa, orang-orang islam sudah mulai kuat, apalagi semenjak
kedatangan para wali dan ikut mempengaruhi perkembangan masyarakat jawa[11].
Selain
konflik dari dari dalam akan aadanya kekuatan penyebaran agamaislamyang mulai
menguat menjadi asalah satu ancaman tersendiri bagi kekuasaan Majapahit ajaran
agama Hindhu-Budha yang meligitimasi kekuasaan pelan-pelan mulai tergeser dari
wilayah pinggiran pesisir di pantai utara jawa yang di bawa oleh para
mubaligh-mubaligh islam dari Arab, Persia, Gujarat dan juga cina,semakin
menguat ketika terjadi satu bentuk islamisasi yang lebih toleran. Kesadaran
para mubaligh dan kecerdikanya yang memadukan tradisi lama dan tradisi islam,
seamkin kuat dan menguat mempengaruhi para penduduk pribumi yang sebelumnya
juga telah meiliki kebudayaan,system perekonomian dan pemerintahan yang
terstrukturdengan baik.
Sebagaimana
dijelaskan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III yang ditulis oleh
sejarawan-sejarawan Sartono Kartodirjo, Mawardi Djoened Puspunegoro, dan
Nugroho Notosusanto bahwa di Indonesia pada masa kedatangan dan penyebaran
islam, terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan,struktur
perekonomian dan social budaya. Dari sudut pandang antropologi budaya
masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pedalaman belum mengalami banyak
percampuran dengan jenis-jenis bangsa dan budaya lainya disbanding suku bangsa
daerah pesisir[12].
Raffles menyatakan dalam bukunya yang
legendaris History of Jawa, bahwa agama masyarakat Jawa pada masa itu
adalah Islam. Pernyataan ini diungkap dalam bab IX sebagai berikut:
Telah diungkapkan bahwa agama yang ada
di negara ini adalah Islam... Dalam catatan
sejarah Jawa dan pada tradisi umum di daerah, hal itu terjadi pada awal abad
ke-15 tahun Jawa, atau sekitar tahun 1475 M dimara kerajaan Hindu Majapahit berdiri dan berkuasa di
pulau itu, namun kemudian tergeser,
dan agama Islam mengokohkan dirinya di negeri ini. Ketika Portugis pertama kali datang ke Jawa pada tahun 1511,
mereka menemukan seorang raja Hindu
di Bantam. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa mereka telah kehilangan hak atas propinsinya, sebagai akibat dari
kemunculan dan bertahtanya raja yang menganut
agama Islam. Tetapi dengan pengecualian sejumlah kecil wilayah di bagian
dalam dan wilayah pegunungan, seluruh pulau tampaknya sudah terpengaruh
ajaran Islam sekitar abad ke-16, atau sekitar akhir periode keberadaan Belanda di Batavia pada tahun 1620.
Suatu keadaan tersebut
menggambarkan bahwa islamisasi didaerah pedalaman lebih telat disbanding
islamisasi didaerah pesisir Wonosobo yang merupakan daerah yang
letakgeografisnya berada agak jauh dari daerah pesisir pun mengalami proes
ilamisasi yang agak telat. Dalam sumber buku diatas menyatakan bahwa islam
masuk kedaerah jawa sekitarabad ke-15 sekitar tahun 1475 pada masa kerajaan
Hindu Majapahit masih berkuasa namun mulai tergeser oleh peradaban agama islam
yang masuk kewilayahnya melalui jalur-jalur perdagangan di daerah pesisir. Analisis
Rafles dalam bukunya tersebut menjelaskan islam masuk secara menyeluruh pada
abad ke-16.
Drs. Abdul Kholik Arif dan Otto
Sukatno, Cr dalam sebuah bukunya Mata Air
Peradaban ; Dua Milenium Wonosobo, memberikan atu pernyataan;
Secara
umum di dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Jawa dipengaruhi oleh adanya
dua kerajaan besar yaitu Malaka di barat
dan Majapahit di timur. Malaka adalah satu-satunya negara yang terbesar
sebagai kerajaan perdagangan yang sejak pertama didirikan merupakan kerajaan
Islam. Majapahit adalah negara terbesar di Indonesia yang berdiri seiring
dengan agama Islam masuk ke Indonesia. Dan di
antara dua kerajaan itu adalah kerajaan Islam Demak di Jawa Tengah.
Kedua kerajaan besar tersebut melambangkan jaman peralihan, yang mempengaruhi
penyebaran Islam di Jawa, khususnya di daerah pedalaman.
Peran penting kerajaan Islam pertama di
jawa yaitu kerajaan demak dimana menurut catatan Tome Pires, pada tahun 1478 M
Kerajaan Islam Demak berdiri. Adapun
keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu Budha di pedalaman Jawa terjadi pada
sekitar tahun1527 M. semakin menguatkan bahwa proses islamisai di pulau jawa
pada daerah pedalaman terjadi agak lambat tentunya dengan adanya penguasaan
daerah-daerah pedalaman oleh kerajaan-kerajaan hindhu-budha.
Melihat Wonosobo yang merupakan daerah
bekas pemerintahan kerajaan mataram kuno dengan Dieng sebagai poros
pemerintahan kerajaan terbukti dengan banyaknya peninggalan-peninggaln kerajaan
Mataram kuno berupa peninggalan fisik candi-candi yang sekarang masih ada
sebagai tempat untuk pemujaan para Dewa-Dewa dan sumber-sumber lanya. Menjadi
menarik untuk menarik sebuah angka tahun kapan masa penyebaran agama islam yang
masuk di wilayah Wonosobo beberapa sumber dan kronik menyebutkan bahwa Wonosobo
mengalami proses islamisasi pada masa kerajaan Islam pertama di Jawa berdiri
paska runtuhnya kerajaan adidaya Majapahit yang bercorak Hindu-Budha, jika
kerajaan Islam Demak berdiri kisaran abad ke-15 awal maka proses Islamisasi di
Wonosobo juga kisaran abad 15 – abad 16.
Jika kita cermati dengan agak seksama,
apa yang diuraikan Widji Saksana tentang
Sera Walisana[13],
dimana serat walisana dijelaskan dalam buku Mata Air Perdaban; Dua Milenium
Wonosobo Karya Abdul Kholiq arif dan Otto Sukatno menjelaskan bahwa satu nama Ki
Gede Wanasaba merupakan bagian dari nama-nama “wali nukba”, adapun serat
Walisana tersebut :
"Kang nututi ambek wali/ Anenggih
Sunan Tembayat/ lan Sunan Giri Parepen / Jeng Sunan Kudus kelawan / Sultan Syah
'Alim Akbar/ Pangeran Wijil Kadilangu/
Kalawan Kewangga// Ki Gede Kenanga Pengging/ malihe Pangeran Konang/
lawan Pangeran Cirebon/ lan Pangeran
Karanggayam/ myang Ki Ageng Sesela/ tuwin Sang Pangeran Panggung/ Pangeran ing
Surapringga// Lan Kyai Juru Martani/ ing Giring myang Pamanahan, Buyut Ngerang Sabran (g) Kulon/
lan Ki Gede Wanasaba/ Panembahan Palembang/ Ki
Buyut ing Banyubiru/ lawan Ki Ageng Majastra// Malihi Ki Agengi Gribig/ Ki Ageng ing Karotangan/ Ki Ageng ing
Toyajene/ lan Ki Ageng Tuja Reka/ pamungkas Wali-Raja/ nenggih Kanjeng Sultan Agung/ kasebut Wali Nubuwa”//
Artinya,
Adapun berikutnya yang bergelar wali
adalah Sunan Tembayat dilanjutkan Sunan Giri Parepen, Sunan Kudus seterusnya
Sunan ’Alim Akbar, Pangeran Wijil Kadilangu serta Pangeran Kewangga. Ki Ageng
Kenanga Pengging yang kemudian (bergelar) Pangeran Konang. Selanjutnya Pangeran
Cirebon serta Pangeran Karanggayam, hingga Ki Ageng Sesela (Sela), Pangeran
Panggung, Pangeran Surapringga. Selanjutnya Ki Juru Mertani di Giring sampai
(Ki Ageng) Pemanahan, Buyut Ngerang, Pangeran Sabrang Kulon dan Ki Gede
Wanasaba. Juga Panembahan Palembang, Ki Buyut Bayubiru serta Ki Ageng
Majastra yang akhirnya bergelar Ki Ageng Gribig. Dilanjutkan Ki Ageng
Karontangan, Ki Ageng Toyajene (Ki Ageng Bayu Kuning) serta Ki Ageng Tuja Reka.
Yang terakhir adalah “Wali-Raja”. Yakni (Kanjeng) Sultan Agung. (Mereka) semua
disebut sebagai wali Nubuwat. Atau memiliki “nubuah” kewalian
Ki Gede Wanasaba dalam serat tersebut
yang merupakan bagian bagian dari wali nukba dari perkiraan nama tersebut dapat
dipastikan bahwa wilayah dakwah dan tugas beliau ada di daerah Wonosobo, sebuah
analisis yang kami lakukan jarak geografis dari kerajaan demak yang berada di
sebelah timur semarang dengan kabupaten Wonosobo tidaklah terlalu jauh. sangat
dimungkinkan proses islamisasi masa kerajaan Demak dikabupaten wonosobo terjadi
masa itu.
Sumber dari serat walisana dimana
terdapat sebutan nama Ki Gede Wanasaba sangat dimungkinkan itulah nama lain
dari Ki Ageng Wonosobo atau Ki Wanu yang makamnya berada di desa Plobangan.
pertanyaan selanjutnya siapa sebenarnya Ki Ageng Wonosobo?
b.
Melacak Historisitas Ki Ageng Wonosobo
1.
Melacak Silsilah Ki Ageng Wonosobo
Suatu kehormatan yang tak terhingga
ketika melacak historisitas Ki Ageng Wonosobo yang banyak orang memahami
sebagai tokoh mubaligh Islam di Wonosobo, Tokoh yang membuka daerah Wonosobo
yang dusunya tersebut berada diwilayah pemerintahan desa Plobangan, Kecamatan
Selomerto kabupaten Wonosobo, tokoh keturunan dari Brawijaya V raja Majapahit
terakhir yang memerintah selama 10 tahun dari tahun 1468-1478 M, tokoh yang
merupakan cikal bakalnya raja-raja Mataram di Jawa paska Demak dan tokoh yang
ahli dalam bidang pertanian, atau tokoh yang memiliki kemampuan sakti menurut
mitos masyarakat.
Ketika berkunjung ziarah kemakamnya di
dusun Wonosobo desa Plobangan yang pesareanya terletak di sebuah puntuk[14]
sebelah makamnya sudah jurang dengan tanaman pohon bambu yang semakin membuat
sejuk area makam tersebut. ketika kita memperhatikan area sekitar makam maka
kita akan melihat banyak terdapat kuburan-kuburan dengan bentuk nisan yang
sederhana dan sepintas terlihat sebagai makam yang tua sangat dimungkinkan ini
adalah makam-makam murid atau masyarakat daerah wonosobo tersebut masa Ki Ageng
Wonosobo. Begitu memandang jauh dari puntuk maka kita akan disajikan anugrah
Tuhan yang sangat indah, dengan areal persawahan dan perkebunan yang menghijau.
Dalam sebuah catatan kesultanan
Ngayogyakarta, oleh KRT.Yudodipraja tahun
1991 , menjelaskan terkait Ki Ageng Wonosobo, yaitu;
Raden Alit inggih Haryo
Ongkowijoyo sareng gumanti Nata Jejuluk Prabu Browijoyo kaping;V; ing Mojopahit
kaping : VII : garwa Ratu Andorowati (Dworowati) Putri Cempo.
Peputra : 117 , kalebet
saking garwa pangrembe. (hal 3).
.........
14. Saking Putri
Wandhan : Raden Joko Bondhan Kejawen
kaparingaken Kyai Buyut Muzahar ing pesisir ler wetan Pati celak Gebadot sareng
diwasa lajeng kaparingaken Ki Ageng
Tarub Kidang Telangkas
inggih
Kyai Lembu Peteng
kasebut Kyai Tarub kaping : II :
punika putra angkat Nyai Ageng Seladhaka ing Tarub Getas Taji ping I inggih
puniko ingkang angsal bendhe Kyai Bicak awit dening kempulipun saking Dhalang
Picak.
Dene Raden Bondhan Kejawen lajeng kaelih
nama : Haryo Lembu Peteng
kadhaupaken angsal putranipun estri Kyai Tarub Kaping II nama : Dewi Nawangsih. Haryo Lembu Peteng anggentosi marasepuh nama Ki Ageng Tarub III.
(Hal.4)
.........
VIII. Raden Joko
Bondhan Kejawen inggih Haryo Lembu Peteng Inggih Ki Ageng Tarup kaping III
garwa putranipun Lembu Peteng Kidang Telangkas, inggih Ki Ageng Tarup ping II
nama : Dewi Nawangsih peputra : 3.
1. Raden Joko Dhukuh
Manjing Islam Nyekabet dhateng Sunan Mojogung Gunung Jati tanah Cirebon lajeng
kapundhut mantu keparingan nama Syeh Kabidullah, dedalem Ing Wonosobo karan Ki
Ageng Wonosobo,
2. Raden Dhepok Manjing
Islam nyekabet dhateng Sunan Mojogung Gunungjati ugi kapundhut mantu keparingan
nama Syeh Ngabdulloh dedalem ing getas pandhawa.
3. Rara Kasiyan inggih
Nyai Ageng Ngerang I, garwa panggih nak dherek putrane Raden Joko Srengoro,
putra Brawijoyo ping V putra ingkang angka : III.(hal.11).
Data tersebut memberikan informasi bahwa
Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir (VII) yang menikah dengan Ratu
Andorowati (Dworowati) Putri Cempa, dan dengan istri-istri selirnya mempunya
117 anak. anak yang ke 14 dari Prabu Brawijaya yang menikah dengan Putri
Wandhan mempunyai anak bernama Raden Joko Bondhan Kejawen yang kemudian
dibesarkan oleh Kyai Buyut Muzahar, setelah dewasa kemudian diberikan ke
Kiageng Tarub Kidang Telangkas atau Kyai Lembu Peteng atau disebut Kyai Tarub
ke II. Kemudian Raden Joko Bondhan
Kejawen menikah dengan anaknya Kyai Tarub II atau Ki Ageng Tarub Kidang
Telangkas yaitu Dewi Nawangsih, Raden Joko Bondhan Kejawen kemudian berganti
nama menjadi Ki Ageng Tarub III.
Ketika melihat pernyataan tersebut
sangat menggelitik ada apa sebenarnya kenapa Raden Joko Bondan Kejawen tidak
dirawat di lingkungan kerajaan tetapi versi dari sumber buku diatas ketika
anaknya lahir langsung diberikan kepada Kyai Buyut Muzahar dan kemudian Kiageng
Tarup Kidang Telangkas yang kemudian menjadi mertuanya. Nampak penting ketika
kita melihat kajian dari Rafles dalam bukunya The History Of Java halaman 468,
yang mengungkap sedikit tentang nama Bondan Kejawen sebagai berikut ;
"kemudian , Angka Wijaya menjadi sakit yang dikatakan oleh para
tabib sebagai penyakit yang tidsak dapat disembuhkan. sebagai satu-satunya cara
penyembuhan dia disarankan untuk hidup bersama salah satu dari budak wanitanya,
yaitu seorang gadis yang berambut kriting. dan buah dari hubungan mereka adalah
lahirnya seorang putra, yang menurut cerita dikenal sebagai Bondan Kejawen;
anak ini tidak lama setelah dilahirkan, di bawa kepada Kiai Gede Tarup Sisela,
pengawas sawa atau tempat menanam padi yang dimiliki raja, dan diperintahkan
untuk membesarkan anak tersebut seolah-olah sebagai anak yang pernah
ditemukanya.
Menjadi agak jelas ketika memahami
sumbertersebut meski dengan sumber pertama terdapat sedikit perbedaan ketika
Raden Joko Bondhan Kejawen lahir dalam The History Of Java tidak lama setelah
dilahirkan dibawa ke Kiai Gede Tarup Sisela yang menurut pemahaman saya ini
merupakan satu nama orang dengan Ki Ageng Tarub Kidang Telangkas. tetapi dalam
sumber yang pertama menyatakan begitu lahir sebelum di bawa ke Ki Ageng Tarub
Kidang Telangkas tetapi di asuh dulu oleh Kyai Buyut Muzahar.
Kiai Gede Tarup Sisela yang merupakan
pengawas sawa atau sawah miliki raja, tentunya memiliki suatu keahlian di
bidang pertanian khususnya pertanian padi.
melanjutkan penjelasan yang diberikan
oleh catatan kesultanan Ngayogyakarta, Raden Joko Bondan Kejawen yang menikah
dengan Dewi Nawangsih mempunya tiga orang anak yaitu;
1. Raden Joko Dukuh yang masuk islam
pada sunan Gunang Jati dan belajar agama islam pada sunan Gunung Jati di
Cirebon, kemudian Sunan Gunung Jati menjadikanya mantu. Bentuk kalimat yang
menjelaskan bahwa Raden Joko Dukuh bertempat tinggal di Wonosobo
mengidentifikasikan beliau bukanlah asli orang Wonosobo tetapi orang yang
mendapatkan penugasan khusus dari para wali untuk menjadi mubaligh atau
penyebar agama islam di daerah kabupaten Wonosobo, sekarang lebih dikenal
sebagai desa Plobangan. kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Wonosobo.
2. Raden Dhepok / Syeh Ngabdullah / Ki
Ageng Getas Pandhawa berada didaerah Getas Pandhawa.
3. Nyi Ageng Ngerang yang berada di
daerah Pati.
Silsilah Ki Ageng Wonosobo, dari jalur ayah jelaslah sudah
bahwa Ki Ageng Wonosobo merupakan anak dari Ki Joko Bondan Kejawen dan juga
merupakan cucu dari Prbu Brawijaya V, raja majapahit terakhir. Dimana Ki Joko
Bondan Kejawen merupakan anak ke 14 dari prabu Brawijaya, atau merupakan adik
dari Raden Fatah sultan pertama Demak.
3.
Makna
Historisitas Ki Ageng Wonosobo.
Dalam sumber
buku sorosilah raja-raja yang diterbitkan khusus sebagai dokumen kesultanan
Jogjakarta bahwa Ki Ageng Wonosobo atau raden joko dukuh ngenger, atau belajar
ilmu agama islam pada Sunan Mojogung Gunung Jati atau Sarif Hidayatulloh di
Cirebon. Sebagai seorang santri dari Sunan Gunung jati, banyak berbagai sumber
ciri khas keilmuan dari Sunan Gunung Jati sebagaimana yang dituliskan oleh Agus
sunyoto dalam karyanya yang sangat fenomenal “Atlas Walisongo” sebagai berikut
,
Kanjeng
Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi
parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana
Sunan Gunung
Jati di Cirebon mengajarkan tatacara berdoa dan membaca matera, tata cara
pengobatan, serta tata cara membuka hutan.[15]
Penafsiran
dari pernyataan diatas menarik untuk kita telusuri melihat kenyataan sejarah
bahwa Ki Ageng Wonosobo diyakini sebagai seorang tokoh yang membuka daerah di
wonosobo. Sebagai suatu ilmu khusus yang dimiliki oleh Sunan Gunung Jati yaitu
membuka hutan di jadikan sebagai pemukiman dan pusat penyebaran agama islam.
G.
PENUTUP
Memahami
Historisitas Kiageng Wonosobo berarti memahmi tentang proses Keruntuhan
Majapahit, proses Zaman Kerajaan Demak, Proses Islamisasi di Nusantara, Proses
Islamisasi di daerah Wonosobo. maka satu buah kesimpulan atau titik terang dari
simpang siur akan adanya sejarah Ki Ageng Wonosobo akan terjawab.
Sebagai
Seorang cucu dari sebuah kerajaan besar Majapahit yaitu Brawijaya V, yang punya
anak Raden Joko Bondan Kejawen / Ki Ageng Tarup III ? Haryo Lembu Peteng.
sebuah kharismatik yang melekat pada beliau Ki Ageng Wonosobo bukanlah hal yang
tidak mungkin, apalagi kemampuan agama islam setelah beliau berguru pada Sunan
Gunung Jati di cirebon sampai beliau dijandikan menantunya dan di berikan satu
penugasan untuk menyebarkan agama islam dengan membuka daerah yang dulunya
hutan yang sekarang dikenal dengan nama dusun Wonosobo, desa Plobangan,
Kecamatan Selomerto, kabupaten wonosobo. sebuah pelajaran yang dapat kita ambil
dari pengalaman kisah sejarah Ki Ageng Wonosobo yaitu kerja keras, sederhana,
pantang menyerah, kepatuhan terhadap guru, kedekatan terhadap Tuhan.
Inilah
yang menjadikan nama beliau yang dimakamkan dipemakaman Plobangan selomerto
menjadikan pemakaman yang begitu dihormati dan dirawat dengan baik, karena
itulah makam seorang mubaligh kharismatik, sorang yang memberikan arti penting
akan perkembangan islam, dan tata sosial kemasyrakatan di wonosobo. Akhirnya
daerah yang dulu didiami beliau dengan kesederhanaanya menjadikan nama untuk
kabupaten Wonosobo sekarang ini.
Tentunya
banyak kekurangan dalam riset kali ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya,
dan hanya bisa memohon semoga ini akan bermanfaat dan memberikan arti penting
bagi wonosobo terkhusus Plobangan yang menjadi legalitas pengetahuan pada
masyrakat bahwa di Plobanganlah sebagai salah satu cikal bakal kabupaten
Wonosobo dengan adanya Ki Ageng Wonosobo sebagai Perintis dan orang yang babad
alas pada waktu itu.
Ucapan
terima kasih kita sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penelitian ini, terlebih kepada pihak dari Desa Plobangan, sejarawan, dan
sahabat/I PC PMII Wonosobo.
Daftar Pustaka
¾ Otto Sukatno Cr. Dieng Poros
Dunia “Menguak Jejak Peta Surga Yang Hilang” iRCiSoD. Yogyakarat. 2004.
¾ Abdul Kholiq Arif, Otto Sukatno Cr
" Mata Air Peradaban ; Dua Milenium
Wonosobo" LKiS Yogyakarta, 2010.
¾ KRT
Yudodipraja. “Majapahit ; Sorosilah Raja-Raja”. Yogyakarta.1991
¾ Sartono
Kartodirjo, Mawarti Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto.,.Sejarah Nasional Indonesia Jilid III ; Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia.,.PT
Grafitas.,.Jakarta.,.1975.
¾ Dr
purwadi M. Hum.,.The History of
Javanesche King.,.Ragam Media.,.Jogjakarta.,.2010.
¾ Thomas Stamford Rafles. History Of Java. Gramedia. Jakarta.
2009.
¾ Agus
Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Jakarta:
Transpustaka, 2011.
[1]
Bahasa Jawa Menimba “belajar”
[2]
Bahasa Jawa artinya orang Wonosobo jika ingin kaya maka harus menjadi petani.
Dalam konteks kesejarahan dulu zaman Ki Ageng Wonosobo dimungkinkan kata
Wonosbo hanya dalam konteks wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Desa
plobangan yaitu Dusun Wonosobo.
[3]
Buku khusus untuk kalangan kraton dan kerabat krabat dari kraton Jogjakarta,
yang berisi silsilah raja-raja dari Majapahit , buku ditulis dengan menggunakan
bahasa jawa kromo inggil, buku tersebut
diterbitkan tahun 1991.
[4] Kata Wonosobo secara etimologis
berasal dari 2 kata bahasa Jawa (Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari Bahasa
Sansekerta: vanasabhā yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga
dikenal sebagai dua buku dari Mahabharata: "Sabhaparwa" dan
"Wanaparwa"). “Wono” dan “Sobo”. Kata wono berarti hutan atau
dapat juga berarti sebuah kawasan di gunung, dan kata sobo berarti mengunjungi,
maka nama Wonosobo bisa berarti sebuah kawasan pegunungan yang menarik orang
datang berkunjung.
[5] Otto Sukatno Cr. Dieng Poros
Dunia “Menguak Jejak Peta Surga Yang Hilang” iRCiSoD. Yogyakarat. 2004. Hal
18
[6]
Ibid 18
[7]
dalam sebuah buku yang ditulis oleh Abdul Kholiq Arif, Otto Sukatno Cr
" Mata Air Peradaban ; Dua Milenium Wonosobo" LKiS Yogyakarta, 2010
[8]
hal 272
[9]
Nama yang banyak dikenal dari cerita
sejarah lisan masyarakat desa Plobangan. Makam Ki Wanu Yang berada diatas Desa
Plobangan berada di dusun Wonosobo banyak diyakini sebagai makam Ki Ageng
Wonosobo. Tokoh yang pertama kali membuka daerah tersebut, sehingga diberilah
nama daerah tersebut dengan nama Wonosobo. Sebagaimana yang disampaikan oleh
juru kunci makam kramat tersebut yaitu Bapak Hadi Susanto, pada wawancara
tanggal 29 Januari 2013, jam 15.12 WIB -16.30 WIB, dirumahnya di dusun
Wonosobo, Desa Plobangan, Kecamatan Selomerto.
[10]
Dalam tradisi masyarakat kita besan berasaldari kata besan artinya mertua,maka
dapat kita maknai kata besanan sama dengan menikah.
[11]
Dr purwadi M. Hum.,.The History of
Javanesche King.,.Ragam Media.,.Jogjakarta.,.2010.
[12]
Sartono Kartodirjo, Mawarti Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto.,.Sejarah Nasional Indonesia Jilid III ; Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia.,.PT
Grafitas.,.Jakarta.,.1975. hal 101.
[13] Widji Saksono., Op. Cit., p. 152.
[14]
tempat yang lebih tinggi dari tempat lainya, dalam kepercayaan masyarakat di
jawa tempat yang tinggi terkesan lebih dekat dengan Tuhan atau para Dewa dalam
sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, terlebih sangat jelas di
daerah dataran tinggi Dieng, Wonosobo yang konon menjadi tempat pusat
perkembangan agama Hindu di Jawa pertama kali masa pemerintahan dinasti sanjaya
dengan kerajaan Mataram Kuno.
[15]
Kutipan ini merupakan bagian dari tugas-tugas Wali Songo dalam Primbon milik
Prof. K.H.R. Moh. Adnan, seperti dikutip Agus Sunyoto, Wali Songo:
Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm.
90.
EYANG ABDUL AZIZ
BalasHapus