Minggu, 29 Desember 2013

Historisitas Ki Ageng Wonosobo


A.  LATAR BELAKANG
Berangkat dari keresahan bersama masyarakat Wonosobo terutama masyarakat di Desa Plobangan akan kehilangan makna eksistensi dn esensi makna yang pernah ada di daerah tersebut. Sejarah yang pernah ada di bagian dari wilayah kabupaten Wonsobo tersebut. Kaena sejarah lisan yang berkembang dan dari berbagai penelitian yang pernah ada yang menyatakan bahwa di desa Plobangan pernah ada seorang tokoh yang namanya entah kebetulan dan mirip sama dengan sebuah nama kota ini sekarang dan juga sama dengan salah satu dusun di desa Plobangan yaitu Wonosobo/Wanasaba/Wanuseba, nama tokoh tersebut adalah Ki Ageng Wonosobo atau lebih akrab dikenal dari cerita masyarakat dan juru kunci maqomnya yang berada di tempat pemakaman umum desa Plobangan di dusun Wonosobo dengan nama Ki Wanu, yang sampai sekarang kepastian masa zaman Ki Ageng Wonsobo belum jelas kapan.
Berkembangnya zaman yang begitu cepat dari generasi ke generasi berikutnya. Globalisasi, ilmu pengetahuan, budaya, dan IPTEK yang semakin menggila saat ini, banyak generasi muda yang dipaksa larut dengan zamanya dan sedikit mengesampingkan pengetahuan, nilai dan makna dari mana ia berasal dalam kata lain lupa dengan sejarahnya. Kekayaan sejarah yang tersembunyi di daerah ini harus menjadi spirit warga tidak hanya warga desa Plobangan tetapi wonosobo pada umumnya. Spirit dibalik sejarah lisan Ki Wanu terlintas sebuah nilai pembelajaran tentang hidup antara lain tentang kegigihan, keberanian, kerja keras, kesederhanaan, pengabdian, ketauhidan, dan amanah.
Sebagaimana Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meningkalkan jas merah”  dimana punya makna pesan yang tersembunyi bahwa kita generasi penurus di ultimatum untuk paham sejarah, karena beliau melanjutkan dengan kalimatnya “Bangsa yang besar adalah bangsa yang paham akan sejarah masa lalu nya”.  Terlepas dari benar dan salah pesan beliau tapi saya menjadi bagian orang yang mengamini pesan beliau. Sederhananya bahwa dari sejarah kita akan belajar banyak hal yang saat tidak kita dapatkan secara langsung. Senada dengan maqolah “ al mukholafadhotu ‘ala qodimi sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Satu konsep yang sangat demokratis dan humanis bagaimana kita dituntun untuk menghargai dan melestarikan sebuah karya dan nilai dari masa lalu yang baik dan memfilter budaya dan nilai baru yang lebih baik sesuai dengan konteks zamanya yang kemuian di kawinkan dengan tradisi lama yang baik. Hemat saya akan lahirlah sebuah kebudayaan dan tradisi baru yang lebih baik.
B.   TEORI
Sejarah selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas dan diperbincangkan. Setiap orang dengan kapasitas dan pengetahuanya meiliki pemaknaan yang berbeda-beda pada sebuah makna ”sejarah”. Berikut berbagai pendapat tentang pengertian sejarah dari sebagian sejarawan yang mewarnai dunia sejarah, antara lain ;
 1. Herodotus : Sejarah tidak berkembang ke arah depan dengan tujuan pasti melainkan bergerak seperti garis lingkaran yang tinggi rendahnya diakibatkan oleh keadaan manusia.
2. Ibnu Khaldun : Dalam bukunya yang berjudul “Mukadimah”, Ibnu Khldun mendefisikan sejarah sebagai catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat.
3. W.J.S. Poerwadarminta : Dalam bukunya berjudul ” Kamus Umum Bahasa Indonesia”. Poerwadarminta mengutarakan 3 pengertian. Yaitu:
Sejarah adalah kesustraan lama, silsilah, dan asal-usul.
Sejarah adalah kejadian dan perisiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
Sejarah adalah ilmu pengetahuan tentang masa lampau.
 4. Moh. Ali : Dalam bukunya “Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia”, Moh. ali menegaskan bahwa kata sejarah mengandung arti sebagai berikut:
 Sejumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian, dan peristiwa dalam kenyataan disekitar kita. Cerita tentang perubahan, kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas. Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan, kejadian, peristiwa yang merupakan realitas.
5. Taufik Abdullah : Menurutnya sejarah adalah kejadian masa lampau dan cerita tentang kejadian itu.
6. Sartono Kartodirdjo : Gambaran perkembangan dan kehidupan kebudayaan manusia.
7. Kuntowijoyo : Sejarah menyuguhkan fakta secara diakronis, ideografis, unik, dan empiris. Bersifat diakronis karena berhubungan dengan waktu. Sejarah bersifat ideografis karena sejarah menggambarkan, menceritakan sesuatu. Bersifat unik karena berisi hasil penelitian tentang hal unik. Selain itu juga bersifat empiris artinya sejarah bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh.

Dari berbagai pengertian itu dapat di simpulkan kalau sejarah itu ilmu yang mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang berakibat terjadinya perubahan pada peradaban umat manusia. Dalam hal ini kita melihat berbagai hal yang tidak bias kita nafikan dalam penulisan sejarah ini, antara lain ; kebenaran realitas empiris dari objek-objek kajian sejarah, semisal ada bukti yang bias menjadi sumber kebenaran suatu sejarah, yang bukan hanya rabaan penulis semata. Baik peninggalan yang bersifat fisik maupun non fisik dalam artian sejarah lisan (Oral History) atau sejarah tutur.
Sejarah lisan biasanya menceritakan suatu peristiwa sejarah dari sumber pertama atau dari saksi mata peristiwa sejarah. Tradisi lisan memiliki jangkauan yang lebih luas. Tradisi merupakan kisah yang diperoleh bukan dari orang yang menyaksikan peristiwa itu sendiri, melainkan mendengar dari orang lain atau dari satu, dua, tiga atau lebih generasi sebelumnya. Seringkali tradisi lisan dianggap sebagai kenangan dari kenangan. Tradisi lisan biasanya mencakup semua aspek kehidupan berbagai aspek kehidupan masa lampau, seperti legenda, epik, peribahasa, teka-teki, dan ungkapan. Tradisi lisan cenderung menjadi bagian dari kegiatan para antropolog atau ahli folklor.

 Sejarah lisan mempunyai kelebihan sebagai berikut:
Pengumpulan data dalam sejarah lisan dilakukan dengan komunikasi dua arah sehingga memungkinkan sejarawan dapat menanyakan langsung bagian yang kurang jelas kepada narasumber.
Penulisan sejarah menjadi lebih demokratis karena memungkinkan sejarawan untuk menggali informasi dari semua golongan masyarakat.
Melengkapi kekurangan data atau informasi yang belum termuat dalam dokumen. Penelitian sejarah lisan yang dipadukan dengan sumber tertulis dianggap dapat melengkapi kekurangan sumber-sumber sejarah selama ini.
 Di samping memiliki kelebihan, sejarah lisan juga mempunyai beberapa kekurangan atau kelemahan sebagai berikut:
Terbatasnya daya ingat seorang pelaku atau saksi sejarah terhadap suatu peristiwa.
Subjektivitas dalam penulisan sejarah sangat tinggi. Dalam hal ini perasaan keakuan dari seorang saksi dari seorang pelaku sejarah yang cenderung memperbesar peranannya dan menutupi kekurangannya sering muncul dalam proses wawancara. Selain itu, subjektivitas juga terjadi karena sudut pandang dari masing-masing pelaku dan saksi sejarah terhadap suatu peristiwa sering kali berbeda.
Dua hal yang tidak bias kita tinggalkan dalamkonteks research sejarah kali ini yaitu sejrah lisan sebagai salah satu sumber dan juga sejarah dalam bentuk tulisan dari berbagai sumber buku yang terkait dengan konteks objek kajian yang akan kita bahas selanjutnya.

C.   OBJEK KAJIAN
Pemilihan topic kajian atau objek kajian dalam research ini memang berangkat dari keresahan masyarakat desa Plobangan dimana sejarah besar yang pernah ada di desa tersebut semakin terkikis oleh tradisi baru dan globalisasi baru. Padahal banyak halyang perlu masyarakat di kabupaten Wonosobo ini pahami kembali dan pelajari kembali dri realitas masa lalu yang pernah ada yang mengantarkan Wonosobo seperti sekarang ini.
Tidak menafikan konteks dalam penulisan ilmiah sebuah sejarah, berbagai persyaratan topik penelitian harus memenuhi beberapa persyaratan;
a)    Topik itu harus menarik (interesting topic), dalam arti menarik sebagai obyek penelitian. Dalam hal ini termasuk adanya keunikan (uniqueness topic).
b)    Substansi masalah dalam topik harus memiliki arti penting (significant topic), baik bagi lmu pengetahuan maupun bagi kegunaan tertentu.
c)    Masalah yang tercakup dalam topik memungkinkan untuk diteliti (manageable topic).

Sejarah Ki Ageng Wonsobo, menjadi pilihan topic, Ki Ageng Wonsobo menjadi satu objek perbincangan yang menarik di kalangan orang wonosobo sebagian meskipun bentuk tulisan dan riset yang khusus hal tersebut belum pernah ada. Sempat mendengar beberapa sejarawan local berupaya untuk meneliti terkait topic tersebut namun beberapa kendala yang entah kenapa semuanya patah di tengah-tengah risetnya.
Pemilihan objek kajian tersebut banyak memiliki arti penting baik bagi masa depan Desa Plobangan maupun bagi masyarakat umum lainya. Yang semuanya akan kita lihat dan buktikan bersama seiring dengan berjalanya waktu. Lukisan arti penting terebut generasi muda dan masyarakat akan bias mencari tahu dengan lebih mudah sumber dari sejarah Ki Ageng Wonosobo, secara tidak langgsung nilai-nilai yang diajarkan baik secara langsung oleh tokoh tersebut mapun secara tidak langsung sedikit banyak akan masuk dalam pengetahuan, hatidan harapan kita sampai pada laku agar tidak terjebak dalam jarring modernisasi negative.
Sumber riset objek kajian Ki Ageng Wonsobo menjadi tantangan tersendiri bagi siapapun yang mengambil objek kajian tersebut. Sumber informasi data yang masih sangat langka terkait objek tersebut. Kerja keras dan tidak mudah putus asa menjadi sahabat riset. Namun perlu diingat bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, spirit tersebut menjadi motivasi dikala kelesuan mencari dan mengolah data.

D.  METODOLOGI
Metodologi sejarah terdiri dari dua kata yaitu metodologi dan sejarah. Metodologi itu sendiri berasal dari kata Yunani “metodos”, kata ini terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Pengertian metodologi itu sendiri adalah ilmu atau kajian yang membahas tentang kerangka-kerangka pemikiran (frameworks) tentang konsep-konsep, cara atau prosedur, yang maksudnya adalah untuk menganalisis tentang prinsip-prinsip atau prosedur yang akan menuntun, mengarahkan dalam penyelidikan dan penyusunan suatu bidang ilmu (dalam bahasan ini adalah ilmu sejarah yaitu kenyataan tentang peristiwa yang terjadi di masa lampau, untuk disusun dijadikan sebuah cerita sejarah).
 Sejarah sendiri dalam bahasa Inggris disebut “history”. Secara etimologis kata ini berasal dari bahasa Yunani “historia” yang berarti ilmu, inkuiri (inquiry), wawancara (interview), interogasi dari seorang saksi-mata. Menurut definisi yang paling umum, kata history kini berarti “masa lampau umat manusia” jika dibandingkan dengan kata Jerman untuk sejarah, yaitu Geschichte, yang berasal dari kata geschehen yang berarti terjadi. Geschichte adalah sesuatu yang telah terjadi. Pengertian dari kata sejarah seringkali kita temui dalam pengucapan yang sering kali digunakan seperti “semua sejarah mengajarkan sesuatu”. Louis Gottschalk (1985:27)
 Metodologi sejarah itu merupakan suatu prosedur atau metode yang digunakan untuk tahu bagaimana mengetahui. Metodologi sejarah atau science of methods juga berarti sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang cara, yaitu cara untuk mengetahui bagaimana mengetahui peristiwa yang terjadi dimasa lampau (sejarah). Misalnya seorang sejarawan yang ingin mengetahui, katakanlah sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dia akan menempuh secara sistematis prosedur penyelidikan dengan menggunakan teknik untuk pengumpulan bahan sejarah sehingga dia dapat menjaring informasi yang dia dapatkan selengkap mungkin namun hanya sampai itu saja tidaklah cukup bagi seorang sejarawan karena seorang sejarawan harus dilengkapi juga dengan pengetahuan metodologis ataupun teoritis bahkan filsafat. Artinya bagaimana sejarawan itu menggunakan “ilmu metode” itu pada tempat yang seharusnya sehingga untuk mengetahui bagaimana mengetahui sejarah itu di perlukanlah suatu ilmu yaitu Metodologi Sejarah. Helius Sjamsuddin (2007:15)
 Dalam metodologi sejarah, seorang sejarawan dituntut harus menguasai metode yang di gunakan untuk mengetahui peristiwa di masa lampau, untuk mengetahui peristiwa di masa lampau itu maka di lakukanlah penelitian berupa prosedur penyelidikan dengan menggunakan tehnik pengumpulan data sejarah baik berupa arsip-arsip dan perpustakaan-perpustakaan (di dalam atau di luar negeri) maupun dari wawancara dengan tokoh-tokoh yang masih hidup sehubungan dengan peristiwa bersejarah. Mempelajari metodologi sejarah berarti kita juga menguraikan metode penelitian sejarah, sumber sejarah dan penulisan sejarah.
Sebelum melakukan penelitian sejarah kita harus mengerti terlebih dahulu apa itu metode dalam penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah. Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pertanyaan pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
 Metode penelitian sejarah menurut Nugroho Notosusanto meliputi empat langkah yaitu heuristik, verifikasi, interprestasi dan historiografi. Sebelum masuk dalam penelitian sejarah, yang perlu di lakukan oleh peneliti adalah menentukan topic dan merumuskan masalah. Metode penelitian sejarah menurut Nogroho Notosusanto :
a)    Heuristik (Menemukan), Tahapan pertama yaitu mencari dan mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Mengumpulkan sumber yang diperlukan dalam penulisan ini merupakan pekerjaan pokok yang dapat dikatakan gampang-gampang susah, sehingga diperlukan kesabaran dari penulis. Heuristic berasal dari bahasa Yunani Heuriskein artinya sama dengan to find yang baerati tidak hanya menemukan, tetapi mencari dahulu. Pada tahap ini, kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat dilokasi penelitian, temuan benda maupun sumber lisan. Notosusanto (1971:18).
Tahapan heuristic ini dengan menggunakan metode pencarian data baik melalui wawancara tokoh sejarawan dan warga, yang berangkat dari sejarah lisan penyataan umum yang kita dapatkan Ki Ageng Wonosobo atau Ki Wanu warga setempat mengenalnya meyakini maqom atau pesarean Ki Wanu berada di pemakan desa Plobangan yang terletak di dukuh Wanasaba, sekarang sudah di bangun dan info dari desa juga juru kunci maqom banyak orang asing yang berdatangan untuk ziarah kemaqom kramat tersebut, baik dari warga biasa ataupun utusan dari kraton Yogyakarta. Ini menjadi pertanyyan menarik untuk kita gali, siapa sebenarnya Ki Ageng Wonosobo tersebut?. Karena hemat saya memahami bahwa maqom yang di ziarahi oleh keluarga kerato tentunya mempunyai garis kekerabatan dengan keraton. Ini yang sepintas menjadikan sumber awal data untuk diolah.
Terus berjalan dalam metode yang lain yaitu kita adakan sarasehan sejarah khusus untuk menggali data sejarah Ki ageng Wonosobo,pada tanggal 26 November 2013 dimana pemerintahan Desa Plobangan dengan Kepala desa Bapak Ismail yang bekerja sama dengan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kabupaten Wonosobo. Berbagai data pun banyak terungkap dan menjadi pemahaman yang baru bagi peserta sarasehan. Memang pernah ada tokoh agama yang membuka daerah tersebut yang kemudian di beri nama Wonosobo. Dengan system peradaban yang tergolong sudah maju, semisal pola pertanian baik dengan dibangunya irigasi-irigasi untuk pengairan sawah-sawah, proses penyebaran agama islam yang dilakukan Ki Ageng pun mendatangkan daerah tersebut banyak dihuni oleh penduduk yang berdatangan untuk ngangsu[1] ilmu agama islam pada Ki Ageng Wonosobo. Analisis dari nara sumber sejarawan dan penggiat bahasa jawa di wonosobo bapak Suharno mengatakan prestasi-prestasi yang diraih oleh pemerintahan desa dan sekolah di plobangan merupakan buah turunan dari pendiri wilayah tersebut yang mengajarkan tentang kerja keras dan disiplin pada santri-santrinya dulu. Maka Desa Plobangan menjadi salah satu desa yang paling tertib membayar pajak pada pemerintah kabupatn Wonosobo saat ini dan beberapa waktu yang lalu di tahun 2013 salah satu sekolah menengah pertama di plobangan pun meraih sekolah dengan program penghijauan terbaik se nasional.
Semangat pertanian yang cukup besar di desa Plobangan menjadikan sebagian besar penduduk Plobangan mencari nafkah membanting tulang di bidang pertanian. Selaras dengan petuah yang disampaikan dari juru kunci ki Wanu yang katanya merupakan pesan dari Ki Wanu sendiri “orang Wonosobo nek pengin sugih kudu dadi wong tani[2].
Mitos didaerah tersebut yang cukup unik juga menjadi pembahasan yang menarik di sarasehan kala itu, warga sekarang wilayah Desa Plobangan tidak boleh menikah dengan warga Desa Manggis yang letaknya bersebelahan dengan Desa Plobangan di kecamatan Selomerto. Mitosnya ketika ada warga yang menikah dari desa Plobangan dengan desa manggis maka setelah menikah aka nada bencana, salah satu dari mereka akan cepat mati atau jika tidak maka aka nada yang menjadi gila. Terlepas dari benr dan salahnya mitos tersebut sampai sekarang dari dua desa tersebut masih mempercayai hal itu.
Terus melakukan riset kajian buku-buku dan dokumen-dokumen berkaitan dengan data-data baik primer maupun sekunder yang diperlukan sebagai penguat testimony-testimony awal. Mulai dari dokumen khusus dari kraton Jogjakarta yang ditulis oleh KRT Yudodipraja dengan judul bukunya “Kerajaan Majapahit ; Sorosilah Rojo-Rojo”[3] saya dapatkan sedikitnya terkait dengan silsilah Ki Ageng Wonosobo yang merupakan salah satu dari 3 anak dari Raden Joko Bondan Kejawen yang merupakan anak dari raja majapahit terakhir raden Alit/Haryo Ongkowijoyo yang kemudian berjulukan Prabu Brawijaya ke-V yang merupakan generasi raja Majapahit ke VII yang banyak disebutkan dalam buku-buku lain berkuasa pada tahun 1468 M – 1478 M. Prabu Brawijaya V yang menikah dengan Putri Wandhan dan meiliki anak raden Joko Bondan Kejawen yang berjulukan Haryo Lembu peteng atau Ki Ageng Tarup III yang menikah dengan putrinya Haryo Lembu Peteng Kidang telangkas atau Ki Ageng tarup II yaitu Dewi Nawangsih, setelah menikah kemudian punya anak 3 yaitu Raden Joko Dukuh / Syeh Kabidullah / Ki Ageng Wonosobo, Raden Dhepok berjulukan Ki Ageng Getas Pandhawa, dan Nyi Ageng Ngerang I.
Terkait dengan masa atau tepatnya tahun berapa Ki Ageng Wonosobo mulai pndah babat alas atau membuka wilayah di Wonosobo menjadi belum ada data yang menyatakan secara gamblang tepatnya. Dalam beberapa sumber Raden Joko Dhukuh masuk agama Islam dan berguru pada Sunan Mojogung yaitu Sunan Gunung Jati di Cirebon. Stelah dirasa sudah cukup maka Sunan Gunung Jati mengutus menugaskan Raden Joko Dhukuh yang kemudian berganti nama Islam menjadi Syeh Kabidullah untuk berdakwah dan membuka pemukiman di dusun Wonosobo desa Plobangan sekarang. Analisis masa dimana Ki Ageng Wonosobo pertama kali membuka daerah di pedukuhan Wonosobo di Plobangan kisaran abad ke15 - abad 16.
b) Verifikasi (Kritik Sumber), Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik yang berupa; buku-buku yang relevan dengan pembahasan yang terkait, maupun hasil temuan dilapangan tentang bukti-bukti dilapangan tentang pembahasan. Setelah bukti itu atau data itu ditemukan maka dilakukan penyaringan atau penyeleksian dengan mengacu pada prosedur yang ada, yakni sumber yang faktual dan orisinalnya terjamin. Tahapan kritik ini tentu saja memiliki tujuan tertentu dalam pelaksanaannya. Salah satu tujuan yang dapat diperoleh dalam tahapan kritik ini adalah otentitas (authenticity).
Lemahnya budaya penulisan zaman dulu menjadikan bukti sejarah secara gamblang sangat sulit kita dapatkan. sejarah lisan dan benda-benda peninggalan yang tersisalah yang menjadikan salah satu otentifitas suatu realitas sejarah. Terlepas dari objektifitas dan subjektifitas sumber dari pustaka baik buku dan dokumen-dokumen dalam riset kali ini itulah sebagai upaya legalitas bahwa pernah ada sejarah di daerah Plobangan. Keyakinan yang kuat inilah yang mengamini banyak orang dari berbagai kalangan memastikan disanalah sejarah besar di wonosobo pernah mewarnai kekayaan sejarah kita.
Menjadi kehati-hatian tersendiri ketika melakukan sebuah riset sejarah satu sisi kita tidak berada dan melihat langsung peristiwa dimasa lalu itu. sumber yang terkadang ontentitasnya masih dipertanyakan ketikan tidak jeli meilih sumber dengan baik dan cermat. Oral history (sejarah lisan) yang ada sekarang adalah sejarah lisan yang sudah diwariskan dari beberapa generasi, penting untuk perhatian hal tersebut tentunya juga bisa ditopang atau dipatahkan dengan riset yang lebih mendekati titik kebenaran dengan berbagai pendekatan dan penerjemahan sumber-sumber yang ada.
 c) Interpretasi, Setelah melalui tahapan kritik sumber, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari arsip, buku-buku yang relevan dengan pembahasan, maupun hasil penelitian langsung dilapangan. Tahapan ini menuntut kehati-hatian dan integritas penulis untuk menghindari interpretasi yang subjektif terhadap fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, agar ditemukan kesimpulan atau gambaran sejarah yang ilmiah.
Interpretasi terhadap fakta sejarah diatas sekurangnya ada beberapa hal yang kemudian menjadi pengembangan dalam historiografi tahap berikutnya, antar lain ;
1.    Masa-masa pengembangan agama islam di Wonosobo
2.    Melacak historisitas Ki Ageng Wonosobo
3.    Makna historisitas Ki Ageng Wonosobo
d) Historiografi, Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan akhir dari seluruh rangkaian dari metode historis. Tahapan heuristik, kritik sumber,serta interpretasi, kemudian dielaborasi sehingga menghasilkan sebuah historiografi.
Tahapan historiografi sebagai bagian dari i'tiqod untuk menjadikanya sebagai sebuah buku sejarah yang menguak lebih banyak realitas sejarah Ki Ageng Wonosobo, sejarah yang pernah ada di desa plobangan juga sisi makna religiusitas, kekayaan budaya dan kehidupan sosial masa lampau. menjadi suatu yang membuat sejuk sebagaimana kondisi lingkungan di wonosobo yang terkenal dengan kesejukanya, kesejukan sejarah ini mampu menjadikan suasan gersang akan kekurang pahaman dan rabaan sejarah tersebut yang selama ini menghinggapi setiap langkah otak dan hati kita.
F. HASIL TEMUAN
Kekayaan sejarah yang pernah ada di Kabupaten Wonosobo menjadikan nilai tersendiri bagi arti penting wonosobo[4] dalam konteks mewarnai kepustakaan yang ada dan yang terpenting menjadi spirit bagi generasi Wonosobo sekarang jika dulu pernah ada sejarah besar di Wonosobo kenapa sekarang kita tidak bisa membuat sejarah yang lebih besar lagi yang punya arti baik untuk Wonosobo pada khususnya. Menurut Otto Sukatno (2004) berpendapat bahwa Dieng berasal dari bahasa Sangsekerta, yakni “Di”  yang artinya tempat yang tinggi atau pgunungan, dan “Hyang” yang artinya “ruh leluhur” atau “dewa-dewa”. Dari sedikit pengertian diatas, menurut penulis bhawa Dieng menjadi tempat yang diagungkan oeh masyarakat kala itu, Dieng menjadi sebuah daerah yang mampu dijadikan pusat peradaban dengan adanya arti yang terkandung pada kata Dieng itu sendiri, Hyang yang juga banyak orang mengartikan “Kahyangan” atau surga tak heran jika sang penghulu Dieng hingga para pelaku sejarahnya menyebut bahwa Dieng adalah surga yang itu menunjukan bahwa “Hyang” adalah sebuah tempat bersemayamnya pada dewa-dewi atau dengan istilah lain “Hyang” adalah tempat yang paling luhur yakni tempat keberadaan Sang Pencipta Jagad Raya[5].
Dieng juga diartikan dengan bahasa Kawi, yang diambil dari penggalan kata “Di” dengan kata baku “Hadi” atau “Adi” yang mempunyai arti “cantik”, “indah” atau “molek” yang mengandung pemaknaan “serba”, “paling” dan sifat-sifat superlatif lainya[6].
Setidaknya tercatat dua nama dari nama-nama Rakai Mataram Sanjaya yang sampai zaman modern ini masih terpatri di wilayah Kabupaten Wonosobo. Pertama adalah Rakai Garung atau  Śrī Mahārāja Rakai Garung, yang diperkirakan memerintah antara tahun 828 sampai– 847 M. Yang kedua. Adalah Rakai Watuhumalang, atau ada yang mengatakan Rakai Wungkal Humalang  atau Śrī Mahārāja Rakai Watuhumalang, yang dimungkinkan memerintah Mataram Sanjaya antara tahun  894 sampai 898 M. Dimana kedua nama itu sampai sekarang terpatri menjadi nama kecamatan di wilayah Kabupaten Wonosobo[7]
Pusat pemerintahan kerajaan Mataram Kuno dinasti Sanjaya banyak disebutkan berada didaerah Dieng Wonosobo dan sekitarnya. Menarik sekali untuk menelusuri tapak jejak torehan sejarah di Wonosobo daerah pegunungan dengan kontur tanah yang naik-turun menjadikan gambaran nyata historiografi kabupaten Wonosobo tidak berjalan rata namun naik turun.
Itulah bagian dari sejarah di Wonosobo yang banyak orang tahu, namun ketika kita turun dari sejarah di Dieng sampai pada dusun Wonosobo, desa Plobangan kecamatan Selomerto, kabupaten Wonosobo terasa begitu luar biasa disambut dengan panorama alam dan pertanian dipinggir jalan raya yang begitu subur menghijau menandakan kesuburan tanahnya, dengan hiasan tanaman padi di sawah yang semakin menguning  menandakan bahwa daerah tersebut pernah menorehkan historiografi seorang tokoh yang begitu berharga bagi perkembangan agama islam dan kabupaten Wonosobo sekarang.
Denis Lombard dalam sebuah bukunya yang sangat fenomenal "Nusa Jawa Silang Budaya "mengungkapkan "hutan merupakan daerah hantu dan penyakit, tetapi disitulah terdapat padepokan di lereng gunung yang terpencil berdiam seorang resi atau pertapa yang dapat mendalami dan memahami tumbuh-tumbuhan dan benda-benda disekitarnya"[8]. Memberikan Inspirasi banyak seorang utusan atau orang yang punya kemampuan lebih dibanding orang biasa, menyebar dan membuka daerah-daerah perkampungan yang baru. Untuk sekedar menyepi atau membuat padepokan, tempat mengajar agama dan lain sebagainya. Tidak menutup kemungkinan inilah yang mengantarkan salah seorang tokoh yang konon sebagai orang yang membuka daerah Plobangan sekarang.
Tokoh tersebut yang kemudian dikenal oleh warga sebagai Ki Wanu[9], orang yang telah membuka "babat alas" bahasa orang Wonosobo-nya. Info dari wawancara dengan juru kunci makam Ki Wanu yaitu bapak Hadi Susilo,terkait asal usul darimana Ki Wanu dan bagaimana bisa sampai kedaerah tersebut masih belum ada sumber yang menjelaskanya. Terlepas darimana dan siapa sebenarnya Ki Wanu, tokoh yang banyak diyakini punya banyak kontribusi besar untuk daerah itu, sehingga makamnya menjadi salah satu makam keramat yang banyak diziarahi oleh orang baik dari dalam wonosobo maupun dari luar wonosobo. Banyak yang datang dari Keraton Jogja menziarahi makam tersebut, apalagi ketika momen-momen bulan tertentu dalam kalender bulan jawa, seperti bulan suro dalam kalender jawa itulah bulan pertama, banyak dongengan tentang aura mistis di bulan sura dari masyarakat di jawa.
Satu pendekatan mistis yang dilakukan oleh juru kunci makam ketika menggelar seni budaya kuda lumping semalam suntuk, dalam seni tersebut ada beberapa bagian dimana penari akan larut dalam tarianya dengan iringan musik gamelan, ini menjadikan penari tersebut menjadi mendem atau kesurupan, pernah ada seorang penari yang kesurupan dan mengaku kesurupan arwah Mbah Wanu. pernyataan dari orang yang mendem dimana dia hanya sebagai mediator untuk mendatangkan arwah Ki Wanu, mengungkapkan bahwa dialah orang yang pertama kali membuka daerah tersebut, dengan di temanai oleh Mbah Koplem seorang gamel atau perawat kuda. rumah tempat tinggal beliau masih menggunakan tempat tinggal sederhana bahasa kita orang Wonosobo dikenal dengan nama gubuk. Tembok dari bambu yang dianyam, atapnya terbuat dari daun-daun yang dibentuk sedemikian rupa sebagai gentengnya. Tempat yang di diami tersebut berada di sebelah timur makamnya sekarang.
Melihat mitos dalam masyarakat di Plobangan menjadi hal yang menggelitik, dimana waktu itu Ki Wanu dititipi Gaman atau senjata dari Adipati Kudus, gaman tersebut menurut cerita warga masih ada sampai sekarang. Terkait dengan Adipati Kudus ini yang makamya sekarang berada di desa Manggis sebelah desa Plobangan, kami mengalami kesulitan melacak konteks kesejarahan beliau. Yang menarik dan mitos yang sekarang masih berlaku di dua desa tersebut yaitu bahwa warga desa Plobangan dan desa Manggis tidak boleh besanan[10], inilah konon merupakan perjanjian antara Ki Wanu dan Adipati Kudus. Permasalahan kenapa mereka saling melakukan perjanjian dan ini semacam menjadi kutukan bagai warga kedua desa tersebut, belum dipahami alasanya, dugaan sementara pernah terjadi perselisihan anatara kedua orang tersebut terkait dengan wilayah bataswilayah daerah masing-masing desa tersebut. Mitos yang hingga kini masih berlaku dimasyarakat kedua desa tersebut,menjadi hal yang dipatuhi dan ditaati oleh warga desa pernah terjadi kasus warga desa Plobangan dan desa Manggis besanan bencana yang dijelaskan diataspun terjadi.
Titik-titik mitos yang sedikit kita sampaikan bukanlah menjadi titik tumpuan utama, yang terlepas dari baik buruknya, namun itulah satu kekayaan adat-istiadat, tata nilai yang secara tertulis tidak ada namun itu menjadi benar-benar masuk dalam hati masyarakat di kedua desa tersebut.
Banyak nama-nama yang muncul dalam pengetahuan dan pemahaman kita dalam konteks sejarah kali ini, sebut saja Ki Wanu, Ki Ageng Wonosobo, Ki Gede Wanasaba. Tiga  nama yang secara bahasa memiliki kesamaan dan kemiripan, Ki Wanu mayarakat desa plobangan dan sekitar menyebutnya, Ki Ageng Wonosobo banyak dalambeberapa sumber disebut-sebut sebagai anak dari Raden Joko Bondan Kejawen yang merupakan salah satu anak dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit terakhir (1468 – 1478), telaah lebih lanjut akan kita bahas dibawah ini. Ki Gede Wanasaba ini juga memiliki arti kata yang sama dalam bahasa jawa ageng dan gede berarti besar, dalam khasanah bahasa jawa kita mengenal sedikitnya empat tingkatan bahasa yaitu,ngoko, ngoko alus, krama, dan krama inggil. Penggunaan bahasa jawa dalam tingkatanya bahasa krama dan krama inggil digunakan ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormatinya, bahasa ngoko dan ngoko alus digunakan ketika berkomunikasi dengan teman sebayanya. Kata Ageng lebih merujuk pada bahasa krama atau krama inggil sedangkan kata gede lebih merujukpada tingkatan bahasa jawa ngoko atau ngoko alus,secara sepintas memberikan gambaran nama tersebut merupakan nama dari 1 orang.
Kesepemahan kita perlu disatukan bahwa pengetahuan kita dan juga pemahaman kita ketiga nama diatasmerujukpada satu orang yang permasalahan penyebutan saja.

a.       Masa-Masa Perkembangan Agama Islam di Wonosobo
Napak tilas historiografi Ki Ageng Wonosobo merujuk pada sumber-sumber kajian buku yang ada banyak menyebutkan pemahaman yang hampir sama sebagai mana kita lihat dari masa-masa kerajaan Majapahit akhir pada masa Prabu Brawijaya V memegang tahta Majapahit selama 10 tahun. Tidak diduga sama sekali dia akan menjadi raja Majapahit yang terakhir, karena setelah beliau kerajaan adidaya ini melemah dan terjadi perebutan kekeuasaan kembali. Pada saat terjadi konflik yang memuncak di pesisir utara jawa, orang-orang islam sudah mulai kuat, apalagi semenjak kedatangan para wali dan ikut mempengaruhi perkembangan masyarakat jawa[11].
Selain konflik dari dari dalam akan aadanya kekuatan penyebaran agamaislamyang mulai menguat menjadi asalah satu ancaman tersendiri bagi kekuasaan Majapahit ajaran agama Hindhu-Budha yang meligitimasi kekuasaan pelan-pelan mulai tergeser dari wilayah pinggiran pesisir di pantai utara jawa yang di bawa oleh para mubaligh-mubaligh islam dari Arab, Persia, Gujarat dan juga cina,semakin menguat ketika terjadi satu bentuk islamisasi yang lebih toleran. Kesadaran para mubaligh dan kecerdikanya yang memadukan tradisi lama dan tradisi islam, seamkin kuat dan menguat mempengaruhi para penduduk pribumi yang sebelumnya juga telah meiliki kebudayaan,system perekonomian dan pemerintahan yang terstrukturdengan baik.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan Sartono Kartodirjo, Mawardi Djoened Puspunegoro, dan Nugroho Notosusanto bahwa di Indonesia pada masa kedatangan dan penyebaran islam, terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan,struktur perekonomian dan social budaya. Dari sudut pandang antropologi budaya masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pedalaman belum mengalami banyak percampuran dengan jenis-jenis bangsa dan budaya lainya disbanding suku bangsa daerah pesisir[12].
Raffles menyatakan dalam bukunya yang legendaris History of Jawa, bahwa agama masyarakat Jawa pada masa itu adalah Islam. Pernyataan ini diungkap dalam bab IX sebagai berikut:
Telah diungkapkan bahwa agama yang ada di negara ini adalah Islam... Dalam catatan sejarah Jawa dan pada tradisi umum di daerah, hal itu terjadi pada awal abad ke-15 tahun Jawa, atau sekitar tahun 1475 M dimara kerajaan Hindu Majapahit berdiri dan berkuasa di pulau itu, namun kemudian tergeser, dan agama Islam mengokohkan dirinya di negeri ini. Ketika Portugis pertama kali datang ke Jawa pada tahun 1511, mereka menemukan seorang raja Hindu di Bantam. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa mereka telah kehilangan hak atas propinsinya, sebagai akibat dari kemunculan dan bertahtanya raja yang menganut agama Islam. Tetapi dengan pengecualian sejumlah kecil wilayah di bagian dalam dan wilayah pegunungan, seluruh pulau tampaknya sudah terpengaruh ajaran Islam sekitar abad ke-16, atau sekitar akhir periode keberadaan Belanda di Batavia pada tahun 1620.
Suatu keadaan tersebut menggambarkan bahwa islamisasi didaerah pedalaman lebih telat disbanding islamisasi didaerah pesisir Wonosobo yang merupakan daerah yang letakgeografisnya berada agak jauh dari daerah pesisir pun mengalami proes ilamisasi yang agak telat. Dalam sumber buku diatas menyatakan bahwa islam masuk kedaerah jawa sekitarabad ke-15 sekitar tahun 1475 pada masa kerajaan Hindu Majapahit masih berkuasa namun mulai tergeser oleh peradaban agama islam yang masuk kewilayahnya melalui jalur-jalur perdagangan di daerah pesisir. Analisis Rafles dalam bukunya tersebut menjelaskan islam masuk secara menyeluruh pada abad ke-16.
Drs. Abdul Kholik Arif dan Otto Sukatno, Cr dalam sebuah bukunya Mata Air Peradaban ; Dua Milenium Wonosobo, memberikan atu pernyataan;
Secara umum di dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Jawa dipengaruhi oleh adanya dua kerajaan besar yaitu Malaka di barat  dan Majapahit di timur. Malaka adalah satu-satunya negara yang terbesar sebagai kerajaan perdagangan yang sejak pertama didirikan merupakan kerajaan Islam. Majapahit adalah negara terbesar di Indonesia yang berdiri seiring dengan agama Islam masuk ke Indonesia. Dan di  antara dua kerajaan itu adalah kerajaan Islam Demak di Jawa Tengah. Kedua kerajaan besar tersebut melambangkan jaman peralihan, yang mempengaruhi penyebaran Islam di Jawa, khususnya di daerah pedalaman.
Peran penting kerajaan Islam pertama di jawa yaitu kerajaan demak dimana menurut catatan Tome Pires, pada tahun 1478 M Kerajaan Islam Demak berdiri. Adapun  keruntuhan kerajaan-kerajaan Hindu Budha di pedalaman Jawa terjadi pada sekitar tahun1527 M. semakin menguatkan bahwa proses islamisai di pulau jawa pada daerah pedalaman terjadi agak lambat tentunya dengan adanya penguasaan daerah-daerah pedalaman oleh kerajaan-kerajaan hindhu-budha.
Melihat Wonosobo yang merupakan daerah bekas pemerintahan kerajaan mataram kuno dengan Dieng sebagai poros pemerintahan kerajaan terbukti dengan banyaknya peninggalan-peninggaln kerajaan Mataram kuno berupa peninggalan fisik candi-candi yang sekarang masih ada sebagai tempat untuk pemujaan para Dewa-Dewa dan sumber-sumber lanya. Menjadi menarik untuk menarik sebuah angka tahun kapan masa penyebaran agama islam yang masuk di wilayah Wonosobo beberapa sumber dan kronik menyebutkan bahwa Wonosobo mengalami proses islamisasi pada masa kerajaan Islam pertama di Jawa berdiri paska runtuhnya kerajaan adidaya Majapahit yang bercorak Hindu-Budha, jika kerajaan Islam Demak berdiri kisaran abad ke-15 awal maka proses Islamisasi di Wonosobo juga kisaran abad 15 – abad 16.
Jika kita cermati dengan agak seksama, apa yang diuraikan Widji Saksana  tentang Sera Walisana[13], dimana serat walisana dijelaskan dalam buku Mata Air Perdaban; Dua Milenium Wonosobo Karya Abdul Kholiq arif dan Otto Sukatno menjelaskan bahwa satu nama Ki Gede Wanasaba merupakan bagian dari nama-nama “wali nukba”, adapun serat Walisana tersebut :
"Kang nututi ambek wali/ Anenggih Sunan Tembayat/ lan Sunan Giri Parepen / Jeng Sunan Kudus kelawan / Sultan Syah 'Alim Akbar/ Pangeran Wijil Kadilangu/ Kalawan Kewangga// Ki Gede Kenanga Pengging/ malihe Pangeran Konang/ lawan Pangeran  Cirebon/ lan Pangeran Karanggayam/ myang Ki Ageng Sesela/ tuwin Sang Pangeran Panggung/ Pangeran ing Surapringga// Lan Kyai Juru Martani/ ing Giring myang Pamanahan, Buyut Ngerang  Sabran (g) Kulon/ lan Ki Gede Wanasaba/ Panembahan Palembang/ Ki Buyut ing Banyubiru/ lawan Ki Ageng Majastra// Malihi Ki Agengi Gribig/ Ki Ageng ing Karotangan/ Ki Ageng ing Toyajene/ lan Ki  Ageng Tuja Reka/ pamungkas Wali-Raja/ nenggih Kanjeng Sultan Agung/ kasebut Wali Nubuwa”//
Artinya,
Adapun berikutnya yang bergelar wali adalah Sunan Tembayat dilanjutkan Sunan Giri Parepen, Sunan Kudus seterusnya Sunan ’Alim Akbar, Pangeran Wijil Kadilangu serta Pangeran Kewangga. Ki Ageng Kenanga Pengging yang kemudian (bergelar) Pangeran Konang. Selanjutnya Pangeran Cirebon serta Pangeran Karanggayam, hingga Ki Ageng Sesela (Sela), Pangeran Panggung, Pangeran Surapringga. Selanjutnya Ki Juru Mertani di Giring sampai (Ki Ageng) Pemanahan, Buyut Ngerang, Pangeran Sabrang Kulon dan Ki Gede Wanasaba. Juga Panembahan Palembang, Ki Buyut Bayubiru serta Ki Ageng Majastra yang akhirnya bergelar Ki Ageng Gribig. Dilanjutkan Ki Ageng Karontangan, Ki Ageng Toyajene (Ki Ageng Bayu Kuning) serta Ki Ageng Tuja Reka. Yang terakhir adalah “Wali-Raja”. Yakni (Kanjeng) Sultan Agung. (Mereka) semua disebut sebagai wali Nubuwat. Atau memiliki “nubuah” kewalian

Ki Gede Wanasaba dalam serat tersebut yang merupakan bagian bagian dari wali nukba dari perkiraan nama tersebut dapat dipastikan bahwa wilayah dakwah dan tugas beliau ada di daerah Wonosobo, sebuah analisis yang kami lakukan jarak geografis dari kerajaan demak yang berada di sebelah timur semarang dengan kabupaten Wonosobo tidaklah terlalu jauh. sangat dimungkinkan proses islamisasi masa kerajaan Demak dikabupaten wonosobo terjadi masa itu.
Sumber dari serat walisana dimana terdapat sebutan nama Ki Gede Wanasaba sangat dimungkinkan itulah nama lain dari Ki Ageng Wonosobo atau Ki Wanu yang makamnya berada di desa Plobangan. pertanyaan selanjutnya siapa sebenarnya Ki Ageng Wonosobo?
b. Melacak Historisitas Ki Ageng Wonosobo
1. Melacak Silsilah Ki Ageng Wonosobo
Suatu kehormatan yang tak terhingga ketika melacak historisitas Ki Ageng Wonosobo yang banyak orang memahami sebagai tokoh mubaligh Islam di Wonosobo, Tokoh yang membuka daerah Wonosobo yang dusunya tersebut berada diwilayah pemerintahan desa Plobangan, Kecamatan Selomerto kabupaten Wonosobo, tokoh keturunan dari Brawijaya V raja Majapahit terakhir yang memerintah selama 10 tahun dari tahun 1468-1478 M, tokoh yang merupakan cikal bakalnya raja-raja Mataram di Jawa paska Demak dan tokoh yang ahli dalam bidang pertanian, atau tokoh yang memiliki kemampuan sakti menurut mitos masyarakat.
Ketika berkunjung ziarah kemakamnya di dusun Wonosobo desa Plobangan yang pesareanya terletak di sebuah puntuk[14] sebelah makamnya sudah jurang dengan tanaman pohon bambu yang semakin membuat sejuk area makam tersebut. ketika kita memperhatikan area sekitar makam maka kita akan melihat banyak terdapat kuburan-kuburan dengan bentuk nisan yang sederhana dan sepintas terlihat sebagai makam yang tua sangat dimungkinkan ini adalah makam-makam murid atau masyarakat daerah wonosobo tersebut masa Ki Ageng Wonosobo. Begitu memandang jauh dari puntuk maka kita akan disajikan anugrah Tuhan yang sangat indah, dengan areal persawahan dan perkebunan yang menghijau.
Dalam sebuah catatan kesultanan Ngayogyakarta, oleh KRT.Yudodipraja tahun  1991 , menjelaskan terkait Ki Ageng Wonosobo, yaitu;
Raden Alit inggih Haryo Ongkowijoyo sareng gumanti Nata Jejuluk Prabu Browijoyo kaping;V; ing Mojopahit kaping : VII : garwa Ratu Andorowati (Dworowati) Putri Cempo.
Peputra : 117 , kalebet saking garwa pangrembe. (hal 3).
.........
14. Saking Putri Wandhan : Raden Joko Bondhan Kejawen kaparingaken Kyai Buyut Muzahar ing pesisir ler wetan Pati celak Gebadot sareng diwasa lajeng kaparingaken Ki Ageng Tarub Kidang Telangkas  inggih Kyai Lembu Peteng kasebut Kyai Tarub kaping : II : punika putra angkat Nyai Ageng Seladhaka ing Tarub Getas Taji ping I inggih puniko ingkang angsal bendhe Kyai Bicak awit dening kempulipun saking Dhalang Picak.
Dene Raden Bondhan Kejawen lajeng kaelih nama : Haryo Lembu Peteng kadhaupaken angsal putranipun estri Kyai Tarub Kaping II nama : Dewi Nawangsih. Haryo Lembu Peteng anggentosi marasepuh nama Ki Ageng Tarub III. (Hal.4)
.........
VIII. Raden Joko Bondhan Kejawen inggih Haryo Lembu Peteng Inggih Ki Ageng Tarup kaping III garwa putranipun Lembu Peteng Kidang Telangkas, inggih Ki Ageng Tarup ping II nama : Dewi Nawangsih peputra : 3.
1. Raden Joko Dhukuh Manjing Islam Nyekabet dhateng Sunan Mojogung Gunung Jati tanah Cirebon lajeng kapundhut mantu keparingan nama Syeh Kabidullah, dedalem Ing Wonosobo karan Ki Ageng Wonosobo,
2. Raden Dhepok Manjing Islam nyekabet dhateng Sunan Mojogung Gunungjati ugi kapundhut mantu keparingan nama Syeh Ngabdulloh dedalem ing getas pandhawa.
3. Rara Kasiyan inggih Nyai Ageng Ngerang I, garwa panggih nak dherek putrane Raden Joko Srengoro, putra Brawijoyo ping V putra ingkang angka : III.(hal.11).
Data tersebut memberikan informasi bahwa Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir (VII) yang menikah dengan Ratu Andorowati (Dworowati) Putri Cempa, dan dengan istri-istri selirnya mempunya 117 anak. anak yang ke 14 dari Prabu Brawijaya yang menikah dengan Putri Wandhan mempunyai anak bernama Raden Joko Bondhan Kejawen yang kemudian dibesarkan oleh Kyai Buyut Muzahar, setelah dewasa kemudian diberikan ke Kiageng Tarub Kidang Telangkas atau Kyai Lembu Peteng atau disebut Kyai Tarub ke II. Kemudian  Raden Joko Bondhan Kejawen menikah dengan anaknya Kyai Tarub II atau Ki Ageng Tarub Kidang Telangkas yaitu Dewi Nawangsih, Raden Joko Bondhan Kejawen kemudian berganti nama menjadi Ki Ageng Tarub III.
Ketika melihat pernyataan tersebut sangat menggelitik ada apa sebenarnya kenapa Raden Joko Bondan Kejawen tidak dirawat di lingkungan kerajaan tetapi versi dari sumber buku diatas ketika anaknya lahir langsung diberikan kepada Kyai Buyut Muzahar dan kemudian Kiageng Tarup Kidang Telangkas yang kemudian menjadi mertuanya. Nampak penting ketika kita melihat kajian dari Rafles dalam bukunya The History Of Java halaman 468, yang mengungkap sedikit tentang nama Bondan Kejawen sebagai berikut ;
"kemudian , Angka Wijaya menjadi sakit yang dikatakan oleh para tabib sebagai penyakit yang tidsak dapat disembuhkan. sebagai satu-satunya cara penyembuhan dia disarankan untuk hidup bersama salah satu dari budak wanitanya, yaitu seorang gadis yang berambut kriting. dan buah dari hubungan mereka adalah lahirnya seorang putra, yang menurut cerita dikenal sebagai Bondan Kejawen; anak ini tidak lama setelah dilahirkan, di bawa kepada Kiai Gede Tarup Sisela, pengawas sawa atau tempat menanam padi yang dimiliki raja, dan diperintahkan untuk membesarkan anak tersebut seolah-olah sebagai anak yang pernah ditemukanya.
Menjadi agak jelas ketika memahami sumbertersebut meski dengan sumber pertama terdapat sedikit perbedaan ketika Raden Joko Bondhan Kejawen lahir dalam The History Of Java tidak lama setelah dilahirkan dibawa ke Kiai Gede Tarup Sisela yang menurut pemahaman saya ini merupakan satu nama orang dengan Ki Ageng Tarub Kidang Telangkas. tetapi dalam sumber yang pertama menyatakan begitu lahir sebelum di bawa ke Ki Ageng Tarub Kidang Telangkas tetapi di asuh dulu oleh Kyai Buyut Muzahar.
Kiai Gede Tarup Sisela yang merupakan pengawas sawa atau sawah miliki raja, tentunya memiliki suatu keahlian di bidang pertanian khususnya pertanian padi.
melanjutkan penjelasan yang diberikan oleh catatan kesultanan Ngayogyakarta, Raden Joko Bondan Kejawen yang menikah dengan Dewi Nawangsih mempunya tiga orang anak yaitu;
1. Raden Joko Dukuh yang masuk islam pada sunan Gunang Jati dan belajar agama islam pada sunan Gunung Jati di Cirebon, kemudian Sunan Gunung Jati menjadikanya mantu. Bentuk kalimat yang menjelaskan bahwa Raden Joko Dukuh bertempat tinggal di Wonosobo mengidentifikasikan beliau bukanlah asli orang Wonosobo tetapi orang yang mendapatkan penugasan khusus dari para wali untuk menjadi mubaligh atau penyebar agama islam di daerah kabupaten Wonosobo, sekarang lebih dikenal sebagai desa Plobangan. kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Wonosobo.
2. Raden Dhepok / Syeh Ngabdullah / Ki Ageng Getas Pandhawa berada didaerah Getas Pandhawa.
3. Nyi Ageng Ngerang yang berada di daerah Pati.
Silsilah Ki Ageng Wonosobo, dari jalur ayah jelaslah sudah bahwa Ki Ageng Wonosobo merupakan anak dari Ki Joko Bondan Kejawen dan juga merupakan cucu dari Prbu Brawijaya V, raja majapahit terakhir. Dimana Ki Joko Bondan Kejawen merupakan anak ke 14 dari prabu Brawijaya, atau merupakan adik dari Raden Fatah sultan pertama Demak.
3.      Makna Historisitas Ki Ageng Wonosobo.
Dalam sumber buku sorosilah raja-raja yang diterbitkan khusus sebagai dokumen kesultanan Jogjakarta bahwa Ki Ageng Wonosobo atau raden joko dukuh ngenger, atau belajar ilmu agama islam pada Sunan Mojogung Gunung Jati atau Sarif Hidayatulloh di Cirebon. Sebagai seorang santri dari Sunan Gunung jati, banyak berbagai sumber ciri khas keilmuan dari Sunan Gunung Jati sebagaimana yang dituliskan oleh Agus sunyoto dalam karyanya yang sangat fenomenal “Atlas Walisongo” sebagai berikut ,
Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana
Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tatacara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan.[15]
Penafsiran dari pernyataan diatas menarik untuk kita telusuri melihat kenyataan sejarah bahwa Ki Ageng Wonosobo diyakini sebagai seorang tokoh yang membuka daerah di wonosobo. Sebagai suatu ilmu khusus yang dimiliki oleh Sunan Gunung Jati yaitu membuka hutan di jadikan sebagai pemukiman dan pusat penyebaran agama islam.


G. PENUTUP
Memahami Historisitas Kiageng Wonosobo berarti memahmi tentang proses Keruntuhan Majapahit, proses Zaman Kerajaan Demak, Proses Islamisasi di Nusantara, Proses Islamisasi di daerah Wonosobo. maka satu buah kesimpulan atau titik terang dari simpang siur akan adanya sejarah Ki Ageng Wonosobo akan terjawab.
Sebagai Seorang cucu dari sebuah kerajaan besar Majapahit yaitu Brawijaya V, yang punya anak Raden Joko Bondan Kejawen / Ki Ageng Tarup III ? Haryo Lembu Peteng. sebuah kharismatik yang melekat pada beliau Ki Ageng Wonosobo bukanlah hal yang tidak mungkin, apalagi kemampuan agama islam setelah beliau berguru pada Sunan Gunung Jati di cirebon sampai beliau dijandikan menantunya dan di berikan satu penugasan untuk menyebarkan agama islam dengan membuka daerah yang dulunya hutan yang sekarang dikenal dengan nama dusun Wonosobo, desa Plobangan, Kecamatan Selomerto, kabupaten wonosobo. sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari pengalaman kisah sejarah Ki Ageng Wonosobo yaitu kerja keras, sederhana, pantang menyerah, kepatuhan terhadap guru, kedekatan terhadap Tuhan.
Inilah yang menjadikan nama beliau yang dimakamkan dipemakaman Plobangan selomerto menjadikan pemakaman yang begitu dihormati dan dirawat dengan baik, karena itulah makam seorang mubaligh kharismatik, sorang yang memberikan arti penting akan perkembangan islam, dan tata sosial kemasyrakatan di wonosobo. Akhirnya daerah yang dulu didiami beliau dengan kesederhanaanya menjadikan nama untuk kabupaten Wonosobo sekarang ini.
Tentunya banyak kekurangan dalam riset kali ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan hanya bisa memohon semoga ini akan bermanfaat dan memberikan arti penting bagi wonosobo terkhusus Plobangan yang menjadi legalitas pengetahuan pada masyrakat bahwa di Plobanganlah sebagai salah satu cikal bakal kabupaten Wonosobo dengan adanya Ki Ageng Wonosobo sebagai Perintis dan orang yang babad alas pada waktu itu.
Ucapan terima kasih kita sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, terlebih kepada pihak dari Desa Plobangan, sejarawan, dan sahabat/I PC PMII Wonosobo.

Daftar Pustaka
¾    Otto Sukatno Cr. Dieng Poros Dunia “Menguak Jejak Peta Surga Yang Hilang” iRCiSoD. Yogyakarat. 2004.
¾    Abdul Kholiq Arif, Otto Sukatno Cr " Mata Air Peradaban ; Dua Milenium Wonosobo" LKiS Yogyakarta, 2010.
¾    KRT Yudodipraja. Majapahit ; Sorosilah Raja-Raja”. Yogyakarta.1991
¾    Sartono Kartodirjo, Mawarti Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto.,.Sejarah Nasional Indonesia Jilid III ; Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia.,.PT Grafitas.,.Jakarta.,.1975.
¾    Dr purwadi M. Hum.,.The History of Javanesche King.,.Ragam Media.,.Jogjakarta.,.2010.
¾    Thomas Stamford Rafles. History Of Java. Gramedia. Jakarta. 2009.
¾    Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Jakarta: Transpustaka, 2011.




[1] Bahasa Jawa Menimba “belajar”
[2] Bahasa Jawa artinya orang Wonosobo jika ingin kaya maka harus menjadi petani. Dalam konteks kesejarahan dulu zaman Ki Ageng Wonosobo dimungkinkan kata Wonosbo hanya dalam konteks wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Desa plobangan yaitu Dusun Wonosobo.
[3] Buku khusus untuk kalangan kraton dan kerabat krabat dari kraton Jogjakarta, yang berisi silsilah raja-raja dari Majapahit , buku ditulis dengan menggunakan bahasa jawa kromo inggil, buku tersebut  diterbitkan  tahun 1991.
[4] Kata Wonosobo secara etimologis berasal dari 2 kata bahasa Jawa (Bahasa Jawa sendiri mengambilnya dari Bahasa Sansekerta: vanasabhā yang artinya kurang lebih sama. Kedua kata ini juga dikenal sebagai dua buku dari Mahabharata: "Sabhaparwa" dan "Wanaparwa").  “Wono” dan “Sobo”. Kata wono berarti hutan atau dapat juga berarti sebuah kawasan di gunung, dan kata sobo berarti mengunjungi, maka nama Wonosobo bisa berarti sebuah kawasan pegunungan yang menarik orang datang berkunjung.
[5] Otto Sukatno Cr. Dieng Poros Dunia “Menguak Jejak Peta Surga Yang Hilang” iRCiSoD. Yogyakarat. 2004. Hal 18
[6]  Ibid 18
[7] dalam sebuah buku  yang ditulis oleh Abdul Kholiq Arif, Otto Sukatno Cr " Mata Air Peradaban ; Dua Milenium Wonosobo" LKiS Yogyakarta, 2010
[8]  hal 272
[9]  Nama yang banyak dikenal dari cerita sejarah lisan masyarakat desa Plobangan. Makam Ki Wanu Yang berada diatas Desa Plobangan berada di dusun Wonosobo banyak diyakini sebagai makam Ki Ageng Wonosobo. Tokoh yang pertama kali membuka daerah tersebut, sehingga diberilah nama daerah tersebut dengan nama Wonosobo. Sebagaimana yang disampaikan oleh juru kunci makam kramat tersebut yaitu Bapak Hadi Susanto, pada wawancara tanggal 29 Januari 2013, jam 15.12 WIB -16.30 WIB, dirumahnya di dusun Wonosobo, Desa Plobangan, Kecamatan Selomerto.
[10] Dalam tradisi masyarakat kita besan berasaldari kata besan artinya mertua,maka dapat kita maknai kata besanan sama dengan menikah.
[11] Dr purwadi M. Hum.,.The History of Javanesche King.,.Ragam Media.,.Jogjakarta.,.2010.
[12] Sartono Kartodirjo, Mawarti Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto.,.Sejarah Nasional Indonesia Jilid III ; Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia.,.PT Grafitas.,.Jakarta.,.1975. hal 101.
[13] Widji Saksono., Op. Cit., p. 152.
[14] tempat yang lebih tinggi dari tempat lainya, dalam kepercayaan masyarakat di jawa tempat yang tinggi terkesan lebih dekat dengan Tuhan atau para Dewa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, terlebih sangat jelas di daerah dataran tinggi Dieng, Wonosobo yang konon menjadi tempat pusat perkembangan agama Hindu di Jawa pertama kali masa pemerintahan dinasti sanjaya dengan kerajaan Mataram Kuno.
[15] Kutipan ini merupakan bagian dari tugas-tugas Wali Songo dalam Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, seperti dikutip Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 90.

1 komentar: