Makam KH. Asy’ari dan KH. Muntaha Alh. (Dero Duwur)

Akses menuju kemakam pun terbilang
mudah. Umumnya, masyarakat sekitar mengendarai sepeda motor saat menziarahi
makam. Akan tetapi tersedia angkutan umum yang dapat mengantar peziarah sampai
ke lokasi makam.
Kondisi
makam cukup bagus. Bersih dan terawat. Banyak santri di sekitar makam yang
menjaga kebersihan dan keutuhan bangunannya. Ukuran makam tersebut kurang lebih
10 x 4 meter. Di sekitar komplek makam berdiri pusat pendidikan Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu umum; SMP dan SMU Takhassus Dero yang berafiliasi dengan Pondok
Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber.
Bagi
masyarakat Wonosobo, makam Dero Duwur termasuk makam yang wajib diziarahi. Di
sana disemayamkan ulama kharismatik, shaleh, pejuang kemerdekaan dan pembela
umat. Di antaranya adalah KH. Asy’ari yang merupakan generasi kedua dari
pengasuh pesantren Al-Asy’ariyyah. Generasi pertamanya adalah KH. Abdurrohim,
ulama seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro.
Ada
catatan sejarah yang mengisahkan latar belakang Mbah Abdurahim mendirikan
pondok pesantren. Pada saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, para pengikutnya
melarikan diri dari kejaran penjajah. Salah satu dari mereka adalah Mbah
Abdurrohim. Beliau berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di lereng
pegunungan Dieng yang kelak daerah tersebut dinamakan Kalibeber. Di desa inilah
Mbah Abdurrohim menyebarkan dan mengajarkan Islam. Sepeninggal Mbah Abdurrohim,
perjuangan dakwah islamiyah dilanjutkan oleh putra beliau, KH. Asy’ari.
Menjelang
kemerdekaan Indonesia, giliran Mbah Asy’ari yang dikejar-kejar penjajah
Belanda, karena keberpihakannya pada rakyat dan sikap kerasnya menentang
penjajahan. Untuk menghindari konfrontasi langsung dengan penjajah, Mbah
Asy’ari mengungsi ke dataran tinggi yang terjal di pegunungan Dieng. Daerah itu
sangat sulit dijangkau orang. Bersama dengan berjalannya waktu, daerah tersebut
kemudian dinamakan desa Dero Duwur. Belum sempat kembali ke Kalibeber, Mbah
Asy’ari jatuh sakit dan wafat para tahun 1948 di tempat pengungsian. Beliau
dimakamkan di sana.
Selain
sebagai tempat peristirahatan KH. Asy’ari, makam Dero Duwur juga tempat
persemayaman putra dan penerus perjuangan beliau, yakni KH Muntaha, Alh. Mbah
Mun, sapaan akrab KH Muntaha, meninggal pada hari Rabu, 29 Desember 2004.
Beliau adalah ulama penghafal Al-Qur’an yang kharismatik, alim dan pejuang
kemerdekaan. Beliau pernah menjabat sebagai komandan pasukan Hisbullah pada
zaman merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Masyarakat Wonosobo dan
sekitarnya menyejajarkan Mbah Mun dengan ulama-ulama ternama lainnya di
Indonesia.
Beberapa
tokoh penting yang disemayamkan di Makam Dero Duwur antara lain, KH. Asy’ari,
KH. Muntaha Alh, Ny. Hj. Maryam Muntaha, dan KH. Mustahal Asy’ari.
Saat
ini, tidak kurang dari 10.000 orang menziarahi makam Dero Duwur setiap
tahunnya. Pada bulan Ruwah (Sya’ban) dan Poso (Ramadhan) jumlah peziarah yang
terdiri dari santri, alumni Ponpes Al-Asy’ariyah dan masyarakat umum, meningkat
tajam dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Makam Karangsari

Keberadaan
makam Karangsari sejatinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
Pondok Pesantren Al-Asyáriyah itu sendiri. Pendirian ponpes dirintis oleh Raden
Hadiwijaya yang juga dikenal dengan KH. Muntaha bin Nida Muhammad pada tahun
1832.
Diceritakan
bahwa pada mulanya Raden Hadiwijaya mendapatkan saran dari Mbah Glondong
Jogomenggolo supaya mendirikan masjid dan padepokan santri di Dusun
Karangsari/Ngebrak Kalibeber. Padepokan itu lalu dibangun Raden Hadiwijaya di
pinggiran Kali Prupuk. Di sana beliau mengajarkan ilmu baca tulis Al-Qur’an,
Fiqh, dan Tauhid.
Semakin
hari jumlah santri yang datang semakin banyak. Tempat yang tersedia pun semakin
tidak memadai. Oleh karena itu, Raden Hadiwijaya memindahkan lokasi pesantren
ke tempat yang sekarang ini menjadi lokasi Pondok Pesantren Al-Asyáriyah.
Sepeninggal
Raden Hadiwijaya, kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh putranya yang
bernama Kyai Abdurrohim. Sebelumnya, beliau menimba ilmu agama di Pondok
Pesantren Jetis, Parakan, Temanggung, di bawah bimbingan Kyai Abdullah. Kyai
Abdurahim sendiri kemudian diambil menantu oleh Kiai Abdullah.
Di
bawah kepemimpinan Kyai Abdurrohim itulah pondok pesantren Kalibeber mengalami
kemajuan yang cukup pesat. Beliau wafat pada 3 syawal 1315 H, dan dimakamkan di
kompleks pondok pesantren yang lama, yaitu Karangsari, Ngebrak. Karena itu,
makam tersebut diberi nama Karangsari.
Kondisi
makam masih bagus. Pihak keluarga Ponpes Al-Asyáriyah secara berkala melakukan
perbaikan bagian-bagian bangunan makam yang rusak. Peziarah pun ramai. Setiap
hari sejumlah santri datang dan membaca Al-Qurán, shalawatan serta mengirimkan
doa untuk para ulama itu.
Makam Ketinggring

Ini
adalah makam bangsawan Jawa. Mereka yang bersemayam di sana memiliki garis
keturunan langsung dengan Hamengkubuwana ke-3. Bendoro R.A Purdaningrat salah
satunya. Makam tersebut terletak di jalan raya Wonosobo-Kalibeber, km. 1.5 dari
arah kota melalui Argopeni.
Menurut
juru kunci makam, Ahmad Supyan, Raden Purdaningrat adalah orang pertama yang
meratakan alun-alun Wonosobo. Beliau pula yang mendirikan pendopo dan tinggal
di sana. Sejauh ini, Raden Purdaningrat tidak diketahui kapan tanggal lahirnya.
Namun, Makam Ketinggring diyakini sudah berusia kurang lebih 250 tahun.
Meski
sudah cukup tua, kondisi fisik Makam Ketinggring masih cukup bagus. Beberapa bagian bangunan masih utuh. Maklum
saja, pihak keluarga yang diwakili Haji Wahyu Sukodjo sudah dua kali melakukan
pemugaran. Renovasi pertama pada 19 Maret 1953. Dan kedua pada 18 Maret 1990.
Ahmad
Supyan menuturkan bahwa peziarah ke Makam Ketinggring tidak terbatas masyarakat
Wonosobo saja. Mereka berasal dari berbagai daerah. Dari dalam dan luar Jawa.
Ada yang datang dari Manado, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Solo dan lain
sebagainya.
Di
antara para peziarah itu adalah keluarga Keraton Yogyakarta dan Solo. Fakta
tersebut mempertegas kebenaran sejarah bahwa Raden Purdaningrat merupakan
keluarga Keraton Solo dan Yogya yang bertugas membangun Wonosobo di masa lalu.
Aktivitas
para peziarah di makam tersebut di antaranya membaca ayat suci Al-Qurán dan
berdoa bagi para ahli kubur. Tak ketinggalan, masyarakat sekitar pun melakukan
hal yang sama. Utamanya pada malam Jumát.
Makam KH. R. Abdullah Fatah

Menurut Abdullah Majid, Juru Kunci
makam, KH. R. Abdullah Fatah lahir pada tahun 1812 dan meninggal dunia pada
tahun 1911.
Ada cerita menarik seputar KH. R.
Abdullah Fatah dan Tegalgot tempat beliau bermukim. Dahulu ada sebuah daerah
bernama Sigedong. Daerah itu subur, tetapi ada kerajaan jin di dalamnya. Tidak
sembarang jin. Mereka bangsa jin sakti. Sehingga, siapa pun yang nekat masuk ke
sana dapat dipastikan hilang tanpa jejak.
Oleh karena itu, pemerintah desa
Tegalgot mengumumkan, bagi siapa yang mampu membersihkan Sigedong dari
kekuasaan jin, maka ia akan mendapatkan tanah itu tanpa membayar pajak kepada
pemerintah desa.
Suatu hari datanglah seorang ulama
bernama KH. R. Abdullah Fatah. Ia mengikuti sayembara itu dan berhasil
mengalahkan bangsa jin yang bercokol di Sigedong. Ia pun mendapatkan hadiah
seperti yang dijanjikan. KH. R. Abdullah Fatah kemudian mendirikan pondok
pesantren di lokasi tersebut. Ini merupakan salah satu pondok pesantren tertua
di Wonosobo.
Bangunan makam KH. R. Abdullah Fatah
cukup bagus. Berlantai keramik, beratap genteng. Dan temboknya bercat putih
bersih. Makam tersebut mulai dibangun pada tahun 1911 oleh keluarga KH.
Abdullah Fatah. Letak makam berada di belakang masjid Tegalgot.
Makam KH. Ibrahim (Jawar)

Makam
KH. Ibrahim berada di Dusun Jawar, Desa Blederan, Kecamatan Mojotengah,
Wonosobo. Makam ini ramai diziarahi umat Islam ketika digelar haul. Yaitu
peringatan wafatnya KH Ibrahim pada 4 Robiul Akhir tahun 1423 H, atau tahun
1994 M.
KH.
Ibrahim adalah pendiri Pondok Pesantren Raudhatu At-Thalibin di Jawar. Sebuah
pesantren tradisional yang mendidik dan mengajari santri ilmu fiqh, tasawuf,
akhlak, tata bahasa Arab, dan disiplin Islam lainnya.
Makam
KH. Ibrahim terawat dengan baik. Seluruh bagian bangunannya masih utuh,
meskipun cat temboknya tampak sudah usang.
Para
santri dan wali santri ramai menziarahi makam ini. Menurut penjaga makam, Nur
Faiq, jumlah peziarah tiap tahunnya mencapai kurang lebih 3.000 orang. Jumlah
itu sesuai dengan data yang tercatat dalam buku peziarah.
Makam Kyai Asmorosufi

Bangunan
Makam Kyai Asmorosufi cukup bagus. Berlantai keramik dan beratap seng. Beberapa
bagian bangunan yang lain masih tampak baru. Termasuk pagar besi yang
mengitarinya. Tidak tampak sisa-sisa bangunan yang lama, meskipun usia makam
itu telah mencapai ratusan tahun. Makam tersebut berada di Dusun Bendosari,
Kecamatan Sapuran, Wonosobo.
Kyai
Asmorosufi hidup pada abad ke 17 M. Beliau adalah keturunan Prabu Brawijaya V.
Dan masih memiliki hubungan darah dengan R.T. Selomanik. Tugas yang mereka
emban pun sama, yaitu menyebarkan agama Islam.
Dari
Kyai Asmorosufi itu, kemudian lahir kyai-kyai ternama di Wonosobo. Antara lain
Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Sholeh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdul Fatah
Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai Asy’ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha dan
Kyai Hasbullah.
Dahulu
Kyai Asmorosufi berdakwah di Sapuran. Di sana beliau mendirikan Masjid.
Tepatnya di Dukuh Bendosari. Masjid itulah yang dipercaya masyarakat sebagai
basis perkembangan Islam di tahun-tahun berikutnya.
Seperti
halnya ulama lain di Nusantara, Kyai Asmorosufi disemayamkan di dekat masjid
yang beliau dirikan. Masjid dan makam tidak dapat dipisahkan. Hal ini
dimaksudkan untuk menghormati sang ulama. Juga untuk menjaga kemanunggalan
pusara dengan warisannya yang begitu berharga.
Tidak
sulit untuk mencapai makam. Hanya berjarak 2 km dari jalan alternatif
Wonosobo-Magelang dan Wonosobo-Purworejo. Karena itulah jumlah peziarah ke
Makam Kyai Asmorosufi cukup banyak. Menurut Mahbub, juru kunci makam, jumlah
peziarah mencapai ribuan orang per tahunnya.
Maksud
dan tujuan para peziarah itu berbeda-beda. Ada yang bertawassul. Ngalap berkah.
Ada pula yang hanya ingin mendoakan sang ulama. Mereka membaca Al-Qur’an,
tahlil dan mujahadah.
Makam Kyai Ngarpah

Nama
lain dari Kyai Ngarpah adalah Tumenggung Setjonegoro. Makam beliau berada di
Dusun Ciledok, Desa Ndempel, Kalibawang, Wonosobo. Diperkirakan, beliau
meninggal dunia pada pertengahan abad ke 19 M.
Tumenggung
Setjonegoro tidak lain adalah bupati pertama Wonosobo. Ia menduduki jabatan
tersebut dari tahun 1825 sampai 1832.
Nama
Kyai Ngarpah mulai dikenal masyarakat luas ketika meletus perang Diponegoro.
Kala itu, sang Tumenggung dipercaya Pangeran Diponegoro memimpin pasukan
bergerilya di berbagai daerah. Ia dan pasukannya memperoleh banyak kemenangan
melawan penjajah Belanda. Kemenangan yang paling menakjubkan ialah pada
pertempuran di Legorok (sekarang masuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta) pada
24 Juli 1825.
Karena
keberhasilannya itulah, dia lalu dianugerahi gelar Tumenggung Setjonegoro oleh
Pangeran Diponegoro. Ia pun dipercaya sebagai penguasa Ledok, yang sekarang
menjadi Ciledok.
Makam
Kyai Ngarpah tampak sederhana. Akan tetapi makam yang tidak memiliki atap ini
menyimpan banyak mitos. Dahulu masyarakat pernah memberi atap pada makam.
Namun, tidak diketahui sebabnya atap tersebut roboh dengan sendirinya. Sejak
itu, makam Kyai Ngarpah tidak lagi beratap.
Di
balik robohnya atap makam terungkap cerita bahwa sesungguhnya di atas makam itu
ada cungkup yang tidak bisa dilihat mata orang biasa. Cungkup itu melindungi
makam dari hujan. Itulah sebabnya, peziarah dilarang memakai payung meskipun
hari sedang turun hujan.
Masyararakat
yang menziarahi makam Kyai Ngarpah ini datang dari berbagai daerah. Dari dalam
dan luar Wonosobo. Strata sosial mereka pun beragam. Ada masyarakat awam,
akademisi, juga pejabat tinggi negara.
Makam Larangan Lor (Garung)

Makam
Larangan Lor terletak di Desa Larangan Lor, Kecamatan Garung, Wonosobo. Jarak
antara makam dengan desa kira-kira satu kilometer. Tidak jauh dari makam
terdapat perkebunan jagung milik warga setempat.
Karena
lokasinya terpencil, jalur menuju makam hanya bisa ditempuh dengan kendaraan
roda dua atau jalan kaki. Membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dari pusat
kota kecamatan Garung sampai ke lokasi makam.
Banyak
kisah menarik muncul dari makam Larangan Lor itu. Aura mistiknya masih sangat
kuat. Di samping karena lokasinya jauh dari permukiman penduduk, juga karena
keberadaannya konon sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu
seperti diungkapkan oleh Kyai Ahmad Zein, tokoh agama di desa setempat, “Makam
waliyullah di sini tidak ajeg berada di tempat yang sama. Terkadang pindah ke
tempat lainnya”.
Menurut
Kyai Zein, di antara waliyullah (hamba yang dikasihi Allah) yang dimakamkan di
sini adalah Syeikh Ngabdulkodir (alias Mbah Butuh), Kyai Rifa’i dari Cirebon,
Mbah Kaki Kucir dan Mbah Kaki Joko.
Hanya
saja, sampai saat ini, baru makam Syeikh Ngabdulkodir alias Mbah Butuh yang
tampak. Sedangkan ketiga makam waliyullah yang lain belum muncul ke permukaan.
Masih tersembunyi. Meski demikian, masyarakat tetap yakin bahwa makam ketiga
waliyullah itu berdekatan dengan makam Mbah Butuh.
Misteri
ketiga makam diwarnai pula dengan cerita menarik seputar sepak terjang keempat
waliyullah tatkala masih hidup. Dari cerita lisan terungkap bagaimana mereka
menyebarkan Islam dan membantu masyarakat. Menurut Kyai Zein, Mbah Butuh dulu
seringkali didatangi orang yang membutuhkan sesuatu, “Nek butuh apa-apa maring
ke Syeikh Ngabdulkodir”, sehingga beliau dijuluki Mbah Butuh.
Lain
lagi dengan Kyai Rifa’i. Beliau merupakan salah satu tokoh yang memprakarsai
pembuatan telaga Menjer yang berjarak kira-kira 1 km dari Desa Larangan Lor.
Adapun Mbah Kaki Kucir, konon kalau pergi ke mana-mana selalu membawa kuda
kepang yang dikucir. Beliau menari-nari di hadapan anak-anak. Di saat anak-anak
sudah berkumpul, beliau mengajarkan tata cara wudhu, shalat dan ibadah-ibadah
Islam lainnya.
Sedangkan
Mbah Kaki Joko, dikenal sebagai sosok zuhud dan suka berkhalwat (menyendiri
untuk beribadah kepada Allah). Menurut cerita, Mbah Kaki Joko tidak menikah
sampai akhir hayatnya. Seluruh hidupnya diabdikan untuk ibadah dan berdakwah.
Karena cara hidup Mbah Kaki Joko yang tidak menikah itulah, masyarakat meyakini
bahwa sampai kapanpun akan ada warga Desa Larangan Lor, laki-laki atau perempuan,
yang tidak menikah sepanjang hidupnya.
Makam
Mbah Bolang

Ada
cerita menarik di balik nama Mbah Bolang. Alkisah, pada zaman penjajahan, ada
seorang ulama yang jadi buron nomer wahid penjajah Belanda. Dia seorang pejuang
yang tangguh. Cerdik. Sulit ditangkap. Sebabnya adalah dia mampu mengubah
wajahnya sekehendak hatinya. Di manapun berada, dia berganti-ganti rupa. Karena
itulah dia dijuluki Mbah Bolang oleh para pengikutnya.
Masyarakat
sekitar makam percaya bahwa makam Mbah Bolang sudah ada sejak tahun 1400 M.
Lokasi makam tidak jauh dari Makam Mbah Bunder dan Makam Pangeran Bayat. Ketiga
makam hanya dipisah oleh sungai.
Ukuran
makam Mbah Bolang tergolong kecil. Hanya 3x2 m. Tidak ada juru kunci atau
petugas yang menjaga makam. Meski demikian, kondisi makam terawat dengan baik.
Lingkungan sekitarnya pun tampak tertata rapi dan bersih.
Makam Mbah Dimyati Kalilawang

Mbah
Dimyati adalah ulama terkemuka Wonosobo. Nama lengkap beliau KH. Dimyati bin KH
Abu Chamid.
Ketua
PCNU pertama Wonosobo itu dipanggil menghadap Allah Swt pada 23 Oktober 1988.
Karena kharisma dan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Wonosobo, hingga
kini pusaranya tetap ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Biasanya
para peziarah membaca Al-Qurán, wirid atau mujahadahan di lokasi makam.
Mbah
Dimyati dimakamkan di Dusun Kalilawang, Desa Sitiharjo, Kecamatan Garung,
Wonosobo. Lokasi makam dapat dicapai dengan mobil atau sepeda motor, dengan
waktu tempuh kira-kira 30 menit dari pusat kota Garung. Kondisi jalan menuju
makam sudah beraspal. Halus. Mulus.
Makam Mbah Lerik

Makam
Mbah Lerik dikeramatkan banyak orang. Makam itu terletak di Desa Ndempel,
Kecamatan Kalibawang, Wonosobo. Menurut kepercayaan penduduk tempatan, siapa
saja yang berniat jahat di dalam makam akan mendapatkan celaka. Cepat atau
lambat. Sekarang atau di hari kemudian.
Siapa
itu Mbah Lerik? Tidak ada data yang meyakinkan yang menyingkap keremangan kabut
sejarah tentangnya. Hanya ada cerita lisan yang sedikit menguak liku hidup dan
asal-usulnya.
Cerita
lisan itu menuturkan bahwa Mbah Lerik adalah nama lain dari Tumenggung Kerto
Waseso. Beliau memiliki pertalian darah dengan Keraton Yogyakarta. Di saat
perang Diponegoro pecah, Mbah Lerik bergabung dengan pasukan pribumi melawan
penjajah. Pada masa itulah beliau terus bergerilya hingga sampai di Wonosobo.
Kemudian membuka desa di daerah Ndempel.
Selain
dikenal sebagai pejuang, Mbah Lerik juga disinyalir sebagai orang yang sakti.
Beliau wafat kira-kira pada tahun 1830 M dan disemayamkan di Desa Ndempel.
Bangunan makamnya tergolong bagus. Modelnya minimalis. Layaknya perumahan yang
siap huni.
Masyarakat
yang menziarahi makam itu tidak hanya penduduk setempat. Mereka datang dari
berbagai daerah, termasuk dari luar Jawa.
Makam Pangeran Bayat

Makam
Pangeran Bayat berada di tengah pemakaman umum di desa Krasak Sibunderan,
Kecamatan Mojotengah, Wonosobo. Dinamakan Makam Pangeran Bayat, karena diyakini
masyarakat luas bahwa di situ bersemayam Pangeran Bayat dan Sayid Abdurahman. Dari
penuturan cerita lisan, Pangeran Bayat tak lain adalah keturunan Sunan Bayat.
Adapun Sayid Abdurahman dipercaya masyarakat sebagai seorang sayid (keturunan
langsung Rasulullah Saw) dari Irak yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Beliau
mendapatkan gelar Sayid Atas Angin.
Tidak
banyak catatan sejarah yang dapat diandalkan untuk melacak sosok dan perjuangan
kedua tokoh itu. Namun, keberadaan Makam Pangeran Bayat menegaskan bahwa
keduanya benar-benar pernah hadir di tengah masyarakat Jawa.
Makam
yang berukuran 20x15 m persegi itu terawat dengan baik. Bangunannya pun telah
direnovasi. Pada hari-hari tertentu, makam ini ramai dikunjungi peziarah dari
berbagai daerah di Pulau Jawa. Lokasi makam cukup strategis, yakni di pinggir
jalan raya antara Wonosobo kota dan Dieng, sehingga tak sulit bagi peziarah
untuk mencapainya.
Makam R.T Selomanik

Di
antara makam keramat yang ramai dikunjungi masyarakat adalah Makam R.T
Selomanik. Letaknya di Desa Selomanik, Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo.
Tokoh-tokoh
sejarah yang dimakamkan di lokasi tersebut antara lain: Ki Ageng Tumenggung
Selomanik, Ki Ageng Tumenggung Branjang Kawat, Ki Ageng Tumenggung Udan Mimis,
dan Ki Ageng Tumenggung Udan Toko.
Menurut
sejarah, R.T Selomanik adalah julukan Kerto Waseso alias R.A.T Selomanik alias
K.P.H. Balitar 1. Lebih masyhur dengan sebutan Mbah Selomanik. Beliau dikenang
masyarakat karena kesalehan dan keahliannya di bidang Al-Qur’an.
Memang
tidak banyak sejarah hidup Mbah Selomanik yang diketahui publik. Akan tetapi kepedulian
pejabat tinggi negara terhadap kondisi makam itu mengindikasikan tingginya
kedudukan Mbah Selomanik semasa hidupnya.
Makam
ini pertama kali dibangun oleh Jendral Poniman pada tahun 1970. Kemudian
direnovasi oleh Bupati Wonosobo, Drs. Sukamto, pada tahun 1982. Pada tahun
2007, makam ini dipugar kembali atas prakarsa Menteri Peranan Wanita, Min
Sugandi. Pemugaran yang terakhir itu menelan biaya kurang lebih Rp 500.000.000.
Peresmiannya dilaksanakan pada 23 Juli
2008 oleh Bupati Wonosobo, Drs. Kholiq Arif.
Saat
ini luas area makam sekitar 500 m2. Sementara luas bangunan makam sendiri
berkisar 120 m2 (lebar 10 m, panjang 12 m). Sedangkan nisan Mbah Selomanik
berukuran panjang 1.5 m dan lebar 60 cm.
Keindahan
makam yang berada di perkampungan itu berbanding lurus dengan kemudahan akses
menuju ke sana. Jalan menuju ke lokasi makam sudah beraspal halus, serta dapat
dilalui kendaraan roda dua dan empat.
Tak
mengherankan jika jumlah peziarah makam tersebut terus meningkat. Menurut
Khoiruddin, juru kunci makam, kira-kira 11.000 orang menziarahi makam Mbah
Selomanik setiap tahunnya.
Para
peziarah datang dari berbagai daerah. Dari dalam dan luar Jawa. Bahkan dari
luar negeri, Kuwait dan Malaysia. Motif dan niat mereka pun berbeda-beda. Ada
yang niatnya silaturahmi dengan Mbah Selomanik. Ada yang mencari berkah. Ada
yang mencari keberuntungan. Ada yang ingin dimudahkan rejekinya. Dan lain
sebagainya.
Kegiatan
yang mereka lakukan selama di makam diantaranya membaca Al-Qur’an, tahlil,
mujahadah, serta membaca doa-doa. Tak terkecuali pejabat tinggi negara seperti
Jenderal Poniman, Harmoko (Menteri Penerangan era Orde Baru, Suparjo Rustam
(Mantan Gubernur Jawa Tengah), dan para Bupati Wonosobo.
Makam Syeikh Abdullah Qutbuddin

Gus
Dur berjasa Besar dalam menguak misteri keberadaan Makam Syeikh Abdullah
Qutbuddin. Sebelum Gus Dur menemukannya pada tahun 1994, status makam antara
ada dan tiada. Dikatakan ada, tetapi tak seorang pun tahu di mana letaknya.
Dikatakan tiada, makam itu senyatanya ada.
Istilah
sufi mengatakan, “Tidaklah seseorang tahu kewalian orang lain kecuali kalau dia
sendiri waliyullah”. Hal itulah yang tampaknya mengkondisikan Gus Dur menemukan
Makam Syeikh Quthbuddin. Makam itu terletak di Dusun Candirejo, Desa Limbangan,
Kecamatan Mojotengah, Wonosobo.
Dusun
Candirejo tidak terlalu jauh dari Kota Wonosobo. Hanya sekitar 5 kilometer.
Untuk menuju ke sana dapat ditempuh dengan mobil maupun kendaraan roda dua.
Jalan menuju dusun pun cukup bagus. Sudah beraspal meskipun tidak terlalu lebar.
Namun ada sebagian jalan desa yang masih berbatu.
Makam
Syekh Abdullah Quthbuddin sendiri berada agak jauh dari desa. Lokasinya di
tengah areal persawahan, bercampur dengan makam umum warga setempat. Untuk
mencapai lokasi makam hanya bisa menggunakan sepeda motor atau jalan kaki.
Bagaimana
seorang Gus Dur bisa menemukan makam Syeikh Abdullah Quthbuddin? Begini
kisahnya. Tahun 1994 Gus Dur dan rombongan, beserta KH. Chabibullah Idris
berburu makam-makam kuna di Wonosobo.
Tim
pencari makam kuna berangkat hingga sampai di Dusun Candirejo. Seorang warga
memberitakan adanya makam kuna, tetapi tidak diketahui siapa ahli kuburnya.
Makam itu berada di tengah sawah. Tidak ada akses jalan ke sana. Hanya jalan
galengan.
KH.
Chabibullah Idris menuturkan, begitu sampai ke makam itu, mendadak Gus Dur
jatuh terduduk. Menyatu dengan arwah dan mengucapkan istighfar seperti tanpa
sadar. Mengetahui hal itu, para pengikut Gus Dur segera merubungnya. Ternyata
makam kuna yang sebelumnya tidak dikenal, merupakan makam yang selama itu
dicari Gus Dur. Itu adalah makam Syeikh Abdullah Quthbuddin.
Sebelum
Gus Dur menjelaskan siapa sesungguhnya Syeikh Quthbuddin, tidak ada data
sejarah yang mengungkap tabir hidupnya. Gus Dur menjelaskan bahwa Syeikh
Quthbuddin berasal dari Iran. Beliau datang ke Nusantara, khususnya ke Wonosobo
dengan misi menyebarkan agama Islam.
Sebagai
seorang ahli Thoriqoh Naqsyabandiyah, Syeikh Quthbuddin mengajarkan Islam
melalui jalan thoriqoh itu. Dan beliau merupakan penyebar pertama Thoriqoh
Naqsyabandiyah di Nusantara. Ajaran thoriqoh ini kemudian menyatu dengan
tradisi masyarakat Jawa.
Lebih
jauh lagi Gus Dur mengungkapkan bahwa Candirejo merupakan dusun Islam pertama
di Jawa, karena diislamkan langsung oleh Syeikh Quthbuddin. Beliau sempat
mendirikan pesantren di sini. Tetapi karena tidak memiliki keturunan, pesantren
tersebut tidak ada yang melanjutkan. Keberadaan pesantren tersebut dapat
dibuktikan dengan banyaknya batu-batu candi yang berada di sekitar makam.
Naunsa
keramat hingga saat ini masih dirasakan warga di sekitar makam. Mereka mengaku
sering mengalami hal-hal di luar nalar. Misalnya, melihat cahaya hijau yang
terbang di sekitar makam. Karena kharisma Syeikh Quthbuddin dan kekeramatan
makamnya itu, banyak warga yang datang berziarah. Mereka berasal dari berbagai
daerah. Termasuk daerah di luar Wonosobo.
Kondisi
makam sekarang ini sudah jauh berbeda dengan saat pertama kali ditemukan.
Berlantai keramik dan beratap genting. Lingkungan sekitar makam pun bersih dan
tertata rapi.
Makam Syeikh Abdullah Selomanik (Kalilembu)

Dalam
tradisi Jawa, ketinggian lokasi makam seseorang menggambarkan ketinggian
kedudukannya. Semakin tinggi lokasi makam, semakin tinggi pula derajat,
keilmuan, keturunan, bahkan kedudukannya di hadapan Tuhan. Karena itu, para
ulama, raja dan bangsawan Jawa biasanya dimakamkan di kawasan pegunungan, yang
letaknya lebih tinggi ketimbang tempat lain di sekitarnya.
Demikian
pula dengan makam Syeikh Abdullah Selomanik. Lokasinya menjulang tinggi di atas
pegunungan Dieng. Tidak mudah mencapainya. Harus melalui anak tangga yang cukup
banyak jumlahnya. Tingginya lokasi makam itu menunjukkan ketinggian kedudukan
sang ulama di mata masyarat Islam di daerah ini. Secara administratif, Makam
Syeikh Abdullah Selomanik masuk dalam Desa Kalilembu, Kejajar, Wonosobo.
Menurut
Kyai Huda, ulama setempat, Syeikh Abdullah Selomanik berasal dari Irak. Beliau
datang ke Kejajar atas permintaan sejumlah orang Islam untuk menjaga
keseimbangan alam dan mendidik masyarakatnya.
Di
sebelah makam yang pernah diziarahi oleh Gus Dur ketika menjabat sebagai
Presiden RI itu. terdapat satu makam
lain. Tidak diketahui pasti, makam siapakah itu. Sedangkan di samping kanan dan
kirinya adalah pemakaman umum. Di dalam makam terdapat silsilah Keraton
Surakarta dan Yogyakarta dari keturunan Brawijaya V.
Makam Syeikh Hasan Toyib

Hasan Darda’

Makam
Syeikh Hasan Toyib dan Syeikh Hasan Darda’ terletak di Dusun Kalibening,
Krasak, Mojotengah, Wonosobo. Makam yang berukuran 7x3 m itu terawat dengan
baik. Kain putih bersih membungkus nisan makam. Dan di atasnya tergeletak
beberapa Kitab Suci Al-Qur’an. Kitab-kitab suci itu sudah kusut. Tampaknya
terlalu banyak tangan yang telah menyentuh dan membacanya.
Sebuah
karpet membentang di sisi makam. Bersih, meskipun tidak baru lagi. Disediakan
untuk para peziarah yang bersimpuh membaca kitab, wirid dan memanjatkan
doa-doa. Segera setelah memasuki makam ini, perasaan tenang merasuk ke seluruh
tubuh. Mungkin itu pengaruh dari ayat-ayat suci yang dilantunkan para peziarah
setiap hari.
Memang
makam ini ramai peziarah. Mulai dari masyarakat awam, pejabat daerah sampai
presiden RI sudah datang menziarahinya. Tak mengherankan jika keyakinan
masyarakat setempat bahwa Syeikh Hasan Toyib adalah waliyullah semakin kuat.
Makam
Syeikh Hasan Toyib dan Syeikh Hasan Darda’ berada di lokasi yang sama. Syeikh
Hasan Toyib adalah ayah mertua Syeikh Hasan Darda’. Menurut H. Hayatudin, cucu
dari Syeikh Hasan Darda’, Syeikh Hasan Toyib meninggal tahun 1800-an.
Makam Syeikh Jalaluddin Suyuti (Wadaslintang)

“Harap
diperhatikan. Peziarah jangan mengganggu bila melihat burung gemak atau puyuh.
Jangan pula takut atau menyakiti harimau atau binatang buas lain yang tiba-tiba
muncul. Biarkan saja”. Demikian pesan Juru Kunci Makam Syeikh Jalaluddin
Suyuti, Notodiharjo.
Mengapa
Notodiharjo memberikan peringatan itu? Tidak ada penjelasan lebih jauh. Dia
hanya menuturkan bahwa Syeikh Jalaluddin Suyuti merupakan ulama dari Irak.
Beliau menghabiskan usianya untuk mengajarkan agama Islam di Kebumen. Tetapi
meninggal dunia di Lancar, Wadaslintang, pada tahun 1518 M. Beliau lalu
dikebumikan di Dusun Kalianget, Desa Lancar, Wadaslintang, Wonosobo.
Perjuangan
Syeikh Jalaluddin Suyuti bermula ketika Kerajaan Demak mencapai puncak
kejayaannya. Beliau diutus oleh Raden Fatah untuk mengislamkan masyarakat Kedu.
Beliau menetap di kampung Bojongsari, Krajan, Bandung, Kebumen. Daerah ini
berbatasan dengan Desa lancar , Wadaslintang.
Mengenai
makam yang sekarang diyakini sebagai pusara Syeikh Jalaluddin Suyuti, mula-mula
masyarakat tidak mengetahuinya. Mereka tidak tahu di sana bersemayam seorang
ulama yang berjasa besar mengislamkan penduduk sekitar. Hingga kemudin para
kyai setempat menunjukkan bahwa itu adalah makam Syeikh Jalaluddin Suyuti.
Sejak
saat itu, masyarakat menjaga dan merawat makam. Membersihkan dan mendirikan di
atasnya bangunan yang layak. Pada tahun 1991, mereka secara swadaya merenovasi
makam hingga bentuknya seperti sekarang ini. Sederhana tapi apik.
Menurut
Notodiharjo, pernah suatu ketika kyai-kyai Kebumen keturunan Syeikh Jalaluddin
Suyuti mencoba mengganti kain tirai makam. Sudah disiapkan kelambu yang lebih
bagus. Tetapi mendadak yang bertugas matanya kabur. Dicoba lagi. Tiba-tiba
hujan turun sangat lebat disertai angin kencang dan banjir. Kyai itu bahkan
merasa ditendang.
Untuk
memperingati Syeikh Jalaluddin Suyuti yang keramat itu, setiap tahun masyarakat
mengadakan haul di lokasi makam. Peziarah pun ramai. Mereka datang dari
berbagai daerah. Salah satu peziarah yang senantiasa diingat penduduk setempat
adalah Presiden RI ke 4, Gus Dur.
Meski
ramai peziarah, akses menuju makam belum lah memadai. Jalan menuju makam belum
beraspal. Bahkan petunjuk yang memandu ke lokasi makam pun masih terbatas.
Hanya ada plang kecil di pinggir jalan Desa Lancar yang bertuliskan makam
Syeikh Jalaluddin Suyuti.
Makam
Syeikh Termidzi
Syeikh
Termidzi adalah nama Arabnya. Nama Jawanya Singo Truno. Ia dikenal sebagai
orang yang sakti. Suatu ketika terjadi longsor. Dan masyarakat tahu bahwa Syeikh
Termidzi berada di bawah tanah yang longsor itu.
Mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi sesaat kemudian, Syeikh Termidzi sudah
berdiri di belakang mereka dan mengajak membersihkan tanah longsoran.
Tidak
ada data sejarah yang mengungkap sosok Syeikh Termizdi atau Singo Truno ini.
Bahkan penduduk setempat percaya bahwa jasad beliau tidak di lokasi makam yang
ada sekarang. Itu hanyalah petilasan berupa tongkat yang ditinggalkannya. Ada
pula yang percaya kalau Syeikh Termidzi masih hidup sampai saat ini.
Makam
Syeikh Termidzi yang ada sekarang berlokasi di Dusun Purbosono, Desa Purbosono,
Kecamatan Sapuran, Wonosobo. Kondisi bangunan makam sangat baik. Berlantai
keramik dan beratapkan genting. Uniknya, makam itu berada di bawah akar pohon
besar yang berumur ratusan tahun.
Juru
Kunci makam, Roni, menyarankan kepada para peziarah untuk membawa makanan
kesukaan Syeikh Termidzi. Pisang emas misalnya. Jika itu dilakukan, maka
diyakini akan mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan.
Cukup
banyak jumlah peziarah ke makam ini. Mereka terdiri dari masyarakat awam,
santri, pengusaha, dan pejabat tinggi negara.
Makam Tumenggung Jogonegoro

Keberadaan
Wonosobo tak dapat dilepaskan dari peran Keraton Yogyakarta. Data historis yang
mengungkapkan fakta itu di antaranya adalah makam para tokoh sejarah. Salah
satunya Makam Tumenggung Jogonegoro yang terletak di Dusun Pakuncen, Desa
Pakuncen, Selomerto.
Tumenggung
Jogonegoro diyakini lahir pada hari Minggu Wage, 4 Agustus 1675. Beliau
memiliki hubungan kekeluargaan dengan Keraton Yogyakarta. Mula-mula ia menjabat
sebagai kepala prajurit dengan nama Ng. Singowedono. Kemudian menduduki jabatan
Bupati Kerajaan Mataram dengan gelar Raden Tumenggung Jogonegoro.
Pada
waktu perang Diponegoro meletus, Tumenggung Jogonegoro bergerak dan bergabung
dengan pasukan Pangeran Diponegoro dan melakukan siasat perang gerilya. Dalam
perang ini, sampailah Tumenggung Jogonegoro dan prajuritnya di daerah
Plabongan. Plabongan menjadi ibu kota Kabupaten Wonosobo. Pada waktu itu
dikenal sebagai Wonosobo Plabongan. Di tempat inilah Tumenggung Jogonegoro
bertahan hingga mangkatnya.
Pada
periode ini, Sang Tumenggung mulai aktif menyebarkan Islam di Magelang,
Banyumas, Kebumen dan Wonosobo. Dalam melaksanakan tugas itu, beliau dikawal
Gusti Guntur Geni.
Sampai
sekarang Tumenggung Jogonegoro dikenal sebagai tokoh yang sakti dan mempunyai
daya linuwih. Karenanya, banyak masyarakat Wonosobo yang masih mengkeramatkan
beliau. Namanya sering disebut dalam berbagai acara keagamaan seperti
mujadahan. Mujahadah biasanya digelar pada hari Kamis Wage, Jumat Kliwon, Senin
Wage, dan Selasa Kliwon.
Menurut
juru kunci makam, Muhammad Sholeh, jumlah peziarah makam mencapai 15.000 orang
per tahunnya. Mereka berasal dari berbagai daerah. Dalam dan luar Jawa.
Ghalibnya,
para peziarah itu bertawassul dengan melakukan riyadhoh, mujahadah, membaca
Yasin, tahlil dan membaca doa-doa. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh
masyarakat setempat setiap selapan dina (tiap 40 hari) pada hari Kamis sore.
Terdapat
aturan tak tertulis ketika para peziarah berada di makam. Hendaknya mereka
melepas alas kaki dan topi. Tidak membelakangi makam. Juga tidak melakukan
tindakan-tindakan yang buruk maupun tidak sopan. Siapa pun yang melanggar
aturan itu, diyakini akan tertimpa “bebendu”.
Sunan Bunder

Tidak
banyak yang tahu siapa itu Sunan Bunder. Sejarah tak pernah mencatat namanya.
Juga nama aslinya. Bahkan masyarakat sekitar makam pun belum tahu pasti latar
belakang hidup dan perjuangannya. Akan tetapi, ada teori yang mengatakan bahwa
besarnya jasa seseorang dapat dilihat dari kuatnya ingatan kolektif masyarakat
terhadap orang itu. Tampaknya, teori tersebut cukup memadai untuk menjelaskan
seberapa besar jasa dan ketokohan Sunan Bunder di tengah masyarakat.
Ingatan
kolektif masyarakat kepada sang Sunan ditandai dengan nama desa Sibunderan.
Kata “sibunderan” itu diambil dari namanya, Bunder. Nah, dengan menyebut nama
desa Sibunderan, ingatan kolektif masyarakat juga kembali kepada nama Sang
Sunan. Jadilah beliau sosok yang dikenang, meskipun mungkin tidak dikenal.
Kini
yang tersisa dari Sunan Bunder hanyalah makam. Makam itu berukuran kurang lebih
10 meter persegi. Terletak persis di belakang Masjid Sunan Bayat. Bentuk
fisiknya sederhana. Tetapi di balik itu, berkembang mitos yang dipercaya
masyarakat akan kebenarannya.
Konon,
di atas makam terdapat kuncup yang tidak bisa dilihat oleh mata orang biasa.
Hanya orang tertentu yang mampu melihatnya. Dipercaya, kuncup itu melindungi
makam dari air hujan. Sehingga, tanah makam tak pernah tersentuh derasnya
hujan. Masyarakat juga percaya, jika ada sepasang kekasih berziarah ke makam
itu dengan niat minta restu menuju ke pelaminan, niat tersebut bakal terwujud
dengan izin Allah Swt.
Seorang
tokoh tempatan, Kyai Huda, menuturkan bahwa Makam Sunan Bunder sudah ada sejak
tahun 1300 M. Selain Sunan Bunder, ada pula ulama yang disemayamkan di makam
tersebut, yaitu KH. Bishri. Ulama khos
ini konon masih keturunan Sunan Bunder.
Alhamdulillah, bisa menambah wawasan dan saya ucapkan Jazzakumulloh khoirun katsir pd admin.
BalasHapusdan mohon saya dengar ada makam mbah giling wesi di desa sawangan kecamatan leksono, apakah beliau termasuk waliyulloh samapai saat ini masih belum tau betul sejarah dari ceritanya ?
memberikan pengetahuan luas tentang makam sepuh yg ada d wonosobo.... sangat bermanfaat.
BalasHapusWonosobo kaya akan sejarah dan Pengetahuan
BalasHapusMaaf.
BalasHapusMohon dikoreksi (ada yang terbalik).
Makam KH. R. Abdullah Fatah di Dusun Sigedong Desa Tegalgot.
Makamnya di belakang Masjid Sigedong (bukan Masjid Tegalgot).
Terima kasih.
Monggo kebersamaannya masyarakat wonosobo untuk mejaga merawat dan melestarikan makam para waliyullah yg ada diwonosobo.. banyak peziarah kemakam para waliyullah insyaAllah wonosobo aman sentosa. Amiin Ya Robb..
BalasHapusMakam tumenggung setjonegoro ada di payaman magelang, bukan di kalibawang wonosobo .. koreksi lagi
BalasHapusAssalaamu 'alaikum. Apakah di Wonosobo ada makam keramat Ki Abdoel Sjoekoer bin Ki Abdoel Madjid/Moedjib yang masih keturunan Sunan Kajoran? Jika ada, mohon diberitahukan kepada kami selalu keturunan beliau di wonosobo.wonosobo76@gmail.com
BalasHapusAssalaamu'alaikum, didaerah serang kejajar ada makam syeh abdul muin, ingin tahu informasinya dan silsilahnya karena mbah ahmad abdul haq watucongol sering ziarah kesitu
BalasHapusdisitu di sebut tumengung jogonegoro lahir th 1675,dan di sebut membantu pasukan diponegoro,padahal perang diponegoro th 1825_1830,amat tdk mungkin bla di lihat perselisihan tahunya,
BalasHapusTongkat Eyang Singo truno...., serta pakaian terakhir Eyang dari udeng baju dan kain sekarang di tempat saya
BalasHapus